Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Apa Kabar Bola Tangan Indonesia?

By Senin, 24 Juli 2017 | 10:43 WIB
Amarta Imron, Wakil Ketua Umum Asosiasi Bola Tangan Indonesia, memopulerkan bola tangan di sekolah-sekolah. (HERKA YANIS/JUARA.NET)

 Olahraga bola tangan tengah dikembangkan di Indonesia. Namun, perjuangan pengurus untuk memopulerkannya tidaklah mudah. 

Penulis: Aprelia Wulansari

Bola tangan pertama kali digelar pada Olimpiade 1936 di Berlin, Jerman. Setelah itu, cabang olahraga ini sempat absen selama 36 tahun di ajang empat tahunan terbesar di dunia tersebut.

Bola tangan kembali digelar di Olimpiade 1972 yang diselenggarakan di Muenchen, Jerman. Sejak saat itu, cabang ini selalu diselenggarakan di Olimpiade.

Indonesia termasuk negara yang mengembangkan cabang yang membutuhkan kecepatan, koordinasi, dan kekuatan ini. Asosiasi Bola Tangan Indonesia (ABTI) adalah institusi yang mengurusi bola tangan di Tanah Air.

Perjuangan untuk mempersiapkan tim dan membina bola tangan bukanlah perjalanan yang mudah. Banyak sekali kendala yang dihadapi para pengurus ABTI untuk mengembangkan cabang yang belum populer di Indonesia ini.

BOLA berkesempatan bertemu dengan Wakil Ketua Umum ABTI, Amarta Imron, di Cibubur, Rabu (19/7). Kepada BOLA, pria berusia 53 tahun yang hobi membaca ini menuturkan perjalanan ABTI dan usaha untuk memopulerkan cabang yang akan digelar pada PON Papua 2020 ini.

Berikut penuturan pria berpembawaan kalem ini. Bagaimana perkembangan bola tangan di Indonesia?

Memang sulit untuk mengembangkan bola tangan. Lapangan tidak banyak dan kita sulit mencari tempat latihan. Satu-satunya tempat saat ini di Jakarta ada di GOR Popki. Sebelumnya, kami berlatih di Vidi Arena, Pancoran. Namun, arena ini dirobohkan sehingga kami masih mencari tempat yang tepat.

Selain itu, cara pembinaan kita juga masih condong ke gaya Eropa yakni mengumpulkan pemain dari berbagai daerah. Menggabungkan pemain dari beberapa daerah memang baik karena mewakili seluruh Indonesia. Akan tetapi, penggabungan itu membutuhkan waktu untuk menciptakan team work, ada kesulitan mengumpulkan pemain, dan tentu kita juga memiliki kendala finansial.