Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Sepanjang sejarah, Semen Padang tak bisa lepas dari Anak Medan, sebutan yang disematkan pada pemain asal Sumatra Utara. Sumbangsih mereka tak putus dari generasi ke generasi.
Penulis: Yosrizal/Andrew Sihombing
Ketika Tim Kabau Sirah promosi dari Divisi 1 ke Divisi Utama Galatama pada 1982, barisan Anak Medan bahkan menjadi pilar utama Semen Padang.
Ada Dahlan di bawah mistar, sementara lini belakang diisi Suharno, Edi Muchni, Muharman, Hamdani Lubis, dan Ramlan.
Selain itu, ada juga Karyadi Rusni di lini tengah saat menjuarai Divisi 1 Galatama 1982.
Ujung tombak Lasdi Arman kala itu malah tampil sebagai pencetak gol terbanyak kompetisi.
Beberapa Anak Medan bahkan sempat mencuat sebagai pemain timnas saat berbaju Semen Padang. Belakangan, dominasi pemain Sumatra Utara memang berkurang, namun tak pernah kosong.
Baca juga:
Kini, ada dua nama asal Medan yang menghiasi skuat Semen Padang.
Salah satunya adalah Riko Simanjuntak, gelandang sayap mungil kelahiran Pematang Siantar pada 26 Januari 1992.
Ucok, panggilan akrabnya, mewarisi posisi Ahmad Syukri, gelandang sayap Semen Padang asal Medan era 1990-an.
Ucok direkrut oleh Semen Padang di awal 2016.
Oleh pelatih Jafri Sastra, ia diplot menggantikan peran Hendra Adi Bayauw.
Riko sebelumnya sempat bermain di PSMS Medan, PS Bangka, dan Gresik United.
“Ada dua alasan saya memilih Semen Padang. Pertama, lebih dekat dari Siantar. Kedua, saya ingin mengikuti jejak para senior saya asal Medan di klub tersebut," ucap Ucok.
"Saya tahu sejak dulu pemain asal Medan selalu sukses bersama Semen Padang. Saya ingin mengikuti kesuksesan mereka,” katanya.
Idola Baru
Sebelumnya, Ucok sempat dikabarkan akan hijrah ke Surabaya United setelah memilih keluar dari Gresik United.
Bahkan, pemain yang hobi memetik gitar dan menyanyi ini, seperti kebanyakan orang Batak, sempat berlatih bersama klub kebanggaan warga Surabaya itu.
Pilihan memperkuat Semen Padang tak keliru. Ia kini menjadi idola baru pencinta sepak bola Padang.
Kecintaan ini yang menjadi alasan Ucok membubuhkan tanda tangan di kontrak baru bersama Semen Padang pada akhir Desember tahun lalu.
Ketika itu, ada beberapa klub kasta teratas yang juga tertarik pada jasa pemain yang mencetak dua gol plus empat assist di turnamen TSC tersebut.
"Semen Padang meminta saya bertahan. Saya menghormati hal itu. Saya setuju bertahan karena rasa nyaman. Di klub ini, saya sangat bahagia. Kekeluargaan di tim juga sangat kuat," katanya ketika itu.
Pemain yang dikenal punya kecepatan lari luar biasa ini bahkan sudah menutup ingatan suporter Semen Padang akan Hendra Adi Bayauw.
Ucok bahkan dinilai lebih hebat dibandingkan pendahulunya itu.
Hal yang sama diakui pelatih Nilmaizar. Ucok diakuinya sudah menjadi salah satu napas tim. Tanpanya, permainan Semen Padang disebut akan kurang menggigit.
"Dibanding Bayauw, Ucok lebih kreatif dan ngotot. Saya beruntung mendapatkan dia. Saya punya harapan besar terharap pemain asal Medan itu,” ucap Nil.
Kengototan itu terlihat di laga kontra Persipura pada akhir April.
Tampil sebagai pengganti dengan kepala masih terbalut perban akibat pelemparan yang dilakukan oknum suporter Persegres sepekan sebelumnya, Ucok tampil gemilang dan bahkan mencetak gol tunggal kemenangan tim.
Hanya, regulasi penggunaan pemain U-23 di kompetisi Liga 1 membuat Nil tak bisa menurunkan sang pemain selama 90 menit di tiap laga.
Ucok sendiri baru dua kali menjadi starter di musim 2017, yakni saat menghadapi Barito Putera dan Persib.
Bagi sang pemain, justru minimnya kesempatan ini yang membuatnya kian terpacu.
Komitmen itu sudah dicamkannya di kepala sejak aturan serupa diberlakukan di Piala Presiden 2017.
"Aturan U-23 membuat menit bermain jadi berkurang, makanya kalau sudah masuk di babak kedua, saya harus bekerja lebih keras lagi," tuturnya kala itu.
Komitmen memang merupakan salah satu kualitas unggul Ucok.
Karena komitmen menjadi pesepak bola profesional itu pula ia dulu meninggalkan bangku kuliah untuk bergabung dengan Gresik United pada Januari 2015.
Padahal, ia baru saja melakukan pendaftaran ulang untuk semester enam jurusan kepelatihan di Universitas Negeri Medan.
Badai sempat menghantamnya ketika itu setelah kompetisi dihentikan akibat konflik PSSI dan Kemenpora.
Kala itu, seperti banyak pesepak bola di Tanah Air, Riko tampil di berbagai ajang tarkam demi menyambung hidup sekaligus menjaga sentuhan bola.