Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Indonesia pernah tampil di Piala Dunia 1938 kendati dengan nama Hindia Belanda, menahan imbang raksasa Uni Soviet di Olimpiade 1956, meraih perunggu cabang sepak bola di Asian Games 1958, serta dua kali menyabet emas cabang sepak bola di SEA Games.
Penulis: Andrew Sihombing/Yosrizal/Suci Rahayu/Budi Kresnadi
Tidak ada yang membantah bahwa deretan pencapaian di atas merupakan sejarah manis sepak bola negeri ini. Masalahnya, selama setidaknya dua dekade terakhir, sepak bola Tanah Air lebih banyak cuma larut dalam kenangan manis itu tanpa terlihat berupaya memperbaiki diri.
Saat banyak negara lain terus berusaha sekuat tenaga mengejar cepatnya perkembangan, bal-balan Indonesia pun tetap saja lelap dalam nostalgia sembari berharap sekonyong-konyong bisa berprestasi lagi.
Kenyataan ini yang setidaknya disadari oleh Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, saat organisasi yang dipimpinnya merayakan hari jadi ke-87 pada Rabu (19/4/2017).
"Di usia 87 tahun ini, kita harus introspeksi diri," kata Edy kepada wartawan selepas perayaan sederhana, yang hanya diisi dengan pemotongan tumpeng dan doa bersama dengan mengundang anak yatim piatu, di Kantor PSSI di lantai 17 Gran Rubina Business Park, Jakarta.
"Selama ini sepertinya Indonesia terlena sehingga negara-negara sahabat sudah terlalu cepat di depan. Mereka sprint, sementara kita santai saja," ucapnya.
Pernyataan Panglima Kostrad ini mudah disepakati, walau terasa menyesakkan. Tolok ukurnya pun sederhana saja.
Misalnya, ketika negara tetangga semacam Thailand dan bahkan Vietnam dengan pede mengincar tiket ke putaran final Piala Dunia, penikmat sepak bola nasional masih saja berkutat dengan impian memenangi Piala AFF dan medali emas SEA Games.