Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Selasa, 2 April 1996, Bandara Soekarno-Hatta tidak seperti biasanya. Masyarakat berdesak-desakan demi melihat langsung para pebalap kelas dunia menginjakkan kakinya di Indonesia.
Penulis: Persiana Galih
Kehadiran para pebalap dunia dari tiga kelas (500, 250, dan 125 cc) di Indonesia untuk adu pacu di Sirkuit Sentul, Bogor, Minggu, 7 April 1996, memang menjadi pemberitaan heboh kala itu.
Untuk pertama kalinya, Indonesia menjadi tuan rumah trek-trekan paling bergengsi di dunia.
Sirkuit Sentul, Bogor, menjadi sirkuit kedua dari 16 sirkuit yang dijajal GP500 dan Superbike.
Bagi para pebalap, Sentul seolah mata kuliah baru. Kecuali bagi pebalap 500cc, Daryl Beattie (Lucky Strike Suzuki), yang curi start.
Runner-up GP500 musim 1995 ini lebih dulu meninjau Sentul setahun sebelumnya, tepatnya pada Maret 1995.
Tak aneh bila berbagai pihak memprediksi Beattie akan mencatatkan sejarah sebagai pebalap kelas 500 cc yang pertama kali menjuarai GP Sentul.
Uji coba sirkuit sepanjang 3,965 kilometer ini pun digelar pada 5-7 dan 12-15 Februari 1996. Namun, beberapa pebalap tak puas karena sirkuit yang dibangun pada 1990 ini diguyur hujan deras.
Buruknya cuaca membuat Michael Doohan (Repsol Honda), juara GP500 1994-95, tak percaya diri. “Saya tak yakin dapat menaklukkan Sentul.
Bisa jadi Beattie atau Luca Cadalora (Kanemoto Honda) yang akan unggul di sini,” ujar Doohan, setelah menguji sirkuit itu.
Tak hanya Doohan, IRTA (Asosiasi Tim-Tim Balap Internasional) juga khawatir rangkaian acaranya akan hancur gara-gara hujan.
Namun, kekhawatiran mereka digebah seorang pawang hujan bernama Siswanto. Ia mengasah kemampuannya selama sepekan hingga berhasil menyingkirkan hujan Sentul di hari lomba.
Walhasil, Paul Butler, Presiden IRTA saat itu, merasa puas dengan hasil kerja panitia Marlboro GP Indonesia. “Negeri Anda sangat menggoda,” kata Butler pada para pewarta lokal.
[video]https://video.kompas.com/e/5294346853001_v1_pjuara[/video]
Perpisahan
Tak hanya kemampuan Siswanto yang membuat Marlboro GP Indonesia tak bisa dilupakan. Kemenangan Doohan di sirkuit ini pun mengagetkan semua pihak.
Ia tampil sebagai kampiun di Sentul dengan catatan waktu 43 menit 50,798 detik (162,772 km/jam).
Beattie yang awalnya diunggulkan justru batal datang lantaran cedera saat latihan di Sirkuit Shah Alam, Malaysia, beberapa pekan sebelumnya.
Tak hanya itu, di kelas 250 cc, Max Biaggi (Chesterfield Aprilia) tak tampil seperti biasanya. Juara 1994-95 ini hanya menjadi runner-up, dengan selisih 1,8 detik dari kampiun Harada (42 menit 13,486 detik).
Meski demikian, pada 1996 Biaggi tetap menjadi juara dunia GP250.
Masa itu memang tahun emas Doohan dan Biaggi. Setahun setelahnya, pada 1997, mereka kembali menjadi kampiun di Sentul (September/GP ke-14) sekaligus juara dunia di kelas masing-masing.
Itu terakhir kali mereka merasakan panasnya aspal Sirkuit Sentul.
Bukan karena di tahun berikutnya kedua pebalap ini pensiun, melainkan karena krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1998.
Karena kerusuhan itu, kontrak IRTA dengan Sentul yang semestinya terjalin hingga 2000 harus batal di tengah jalan. Sejak saat itu Sentul tak lagi semeriah dulu.
FAKTA-FAKTA SEJARAH SIRKUIT SENTUL (1996-1997)