Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Pelatih Paris Saint-Germain, Unai Emery, adalah penggila statistik. Karena itu, sang peracik strategi asal Spanyol tersebut pasti paham kalau dirinya sedang berada dalam tekanan.
Penulis: Sem Bagaskara
Sebagai arsitek PSG, Carlo Ancelotti (2011-2013) baru merasakan kekalahan perdana di Ligue 1 setelah tim melakoni 11 laga. Sang suksesor, Laurent Blanc (2013-2016), malah lebih lama lagi, tepatnya usai Les Parisiens mentas di pertandingan ke-16.
Mengacu kepada catatan tersebut, rapor Emery yang mulai bertugas di PSG per 28 Juni 2016 terlihat jelek. Kekalahan pertama di Ligue 1 baginya muncul lebih dini, yaitu pada pekan ke-3 dalam duel versus Monaco (1-3).
Statistik Emery kian tak cemerlang karena pada pekan berikut, PSG ditahan imbang Saint-Etienne 1-1.
Artinya, Les Parisiens racikan Emery cuma mengumpulkan tujuh poin dalam empat pertandingan awal liga, catatan terburuk sejak 2012-2013 (enam poin dalam empat laga).
“Saya adalah pelatih. Ketika tim menang, kritik akan positif. Saat kalah, masukan akan menjadi lebih negatif. Selalu seperti itu,” ujar Emery di L’Equipe.
Sorotan kepada Emery tak cuma dipicu oleh hasil kurang meyakinkan di Ligue 1. Ia dianggap terburu-buru meletakkan filosofinya.
Emery menghendaki PSG bermain lebih langsung. Sangat berlawanan dari skuat racikan Blanc dalam tiga musim belakangan, yang mengandalkan penguasaan bola.
Alhasil, pemain kaget dan tampak masih meraba-raba keinginan Emery. Situasi diperburuk dengan kabar munculnya benih keretakan relasi eks pelatih Sevilla tersebut dengan rekrutan anyar, Hatem Ben Arfa.
Emery telah dua kali mengeluarkan “kartu kuning” kepada Ben Arfa. “Ia harus bekerja lebih keras,” tutur sang ahli strategi kepada RMC.
“Ben Arfa mesti lebih sering bekerja sama dengan rekan setim. Saat di Nice, ia sering beraksi secara individu,” ujar Emery dalam konferensi pers menjelang duel kontra Saint-Etienne.
Preferensi Ben Arfa untuk menahan dan membawa bola dianggap mengerem laju PSG, yang ingin menerapkan permainan langsung dengan transisi cepat di tangan Emery.
Tuduhan Emery berdasar. Selama 152 menit berada di lapangan, Ben Arfa cuma melepas 78 operan.
Baca Juga:
Sebagai komparasi, Javier Pastore, yang sebenarnya juga gemar menahan bola, mampu mencatat 144 operan selama 155 menit mentas di Ligue 1.
Emery pun berani mencabut “kartu merah” untuk Ben Arfa. Penyerang Prancis berdarah Tunisia itu tak dimasukkan ke skuat PSG, yang berhadapan dengan Arsenal (13/9) di Liga Champion, sekalipun ia berada dalam kondisi bugar.
Hanya, tak sedikit yang menaruh simpati kepada Ben Arfa.
Dengan mendaulat Ben Arfa untuk banyak melakukan pergerakan tanpa bola, Emery disebut menyia-nyiakan bakat terbaik penyerang asli Paris tersebut.
Padahal, alasan Ben Arfa mampu mengemas 17 gol plus enam assist pada musim lalu bareng Nice adalah kerena ia dibiarkan bermain bebas.
“Emery mesti berhenti memperlakukannya seperti bocah. Hatem tak melakukan hal-hal atletis,” bunyi salah satu artikel di Sud Ouest.
“Hatem perlu skema yang cocok dengan dirinya. Ia adalah tipe pemain pertandingan, bukan latihan. Jika tak mendapatkan menit tampil cukup, kondisi fisiknya terancam menurun,” kata pelatih Southampton yang musim lalu menukangi Ben Arfa di Nice, Claude Puel.