Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Mourinho dan Pep Guardiola, Tikaman pada Musim Panas

By Sabtu, 10 September 2016 | 17:02 WIB
Jose Mourinho (kiri) dan Pep Guardiola, awalnya justru menjadi pemersatu Barca di era Bobby Robson. (OLI SCARFF/AFP)

“Hari ini dan untuk selamanya, Barca ada di hati saya.” Mungkin terasa mustahil kata-kata sarat emosi ini keluar dari mulut Jose Mourinho. Maklum, dalam satu dekade terakhir, yang diketahui publik adalah status Mou sebagai musuh utama Barcelona.

Penulis: Sapto Haryo Rajasa

Kata-kata perpisahan itu meluncur pada musim panas 2000, ketika Mou memilih untuk menyudahi ikatan selama empat tahun sebagai asisten bagi Sir Bobby Robson dan Louis van Gaal.

Dalam rentang empat tahun itu, Mou membangun hubungan yang sangat mendalam dengan publik Camp Nou.

Barcelona tahu betul bahwa Mou memberi kontribusi cukup besar dalam raihan Copa del Rey, Supercopa Espana, dan Piala Winner bagi Robson serta La Liga (dua kali), Copa del Rey, dan Piala Super Eropa bagi Van Gaal.

Namun, kala itu Barca belum berada pada taraf percaya untuk mempromosikan sang asisten menjadi pelatih kepala.

Selain usia Mou yang baru menapak 37 tahun, langkah untuk menjadikan asisten sebagai pelatih kepala memang belum populer.

Berbeda dengan era sekarang, di mana semakin banyak asisten yang dipromosikan sebagai pelatih kepala dan semakin maraknya penunjukan pelatih-pelatih muda.

Seketika itu pula Mou menyambar tawaran Benfica, lalu Uniao Lleira dan FC Porto, tapi dengan mimpi dan harapan suatu waktu dipanggil kembali ke Camp Nou.

Pada awal 2004-2005, Barca tak mungkin mengambil Mou, yang baru sukses bersama Porto menjuarai Liga Champion, karena pada saat yang bersamaan Frank Rijkaard juga sedang menuai prestasi bagus di Barcelona.

Selepas menukangi Chelsea, Mou menjadi kandidat kuat guna menggantikan Rijkaard. Sesi wawancara pun telah dilakoninya bersama jajaran manajemen Blaugrana.

Akan tetapi, pada akhirnya Barca menunjuk Pep Guardiola, yang terbukti menjadi pilihan terbaik sepanjang sejarah mereka.

Penunjukan Pep dirasa seperti sebuah tikaman belati dari belakang.

Di samping merasa lebih mengantongi kualifikasi lengkap ketimbang Pep, dari hatinya yang paling dalam Mou sebetulnya juga sudah menyimpan percikan dendam kepada mantan rekannya berdiskusi itu.