Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Menolak Antiteori Lisensi Pelatih di Liga Indonesia

By Jumat, 19 Agustus 2016 | 13:57 WIB
Pelatih Persib Bandung, Djajang Nurjaman, memberi arahan kepada timnya saat berlaga di Piala AFC melawan New radiant SC di Stadion Si Jalak Harupat, Rabu (25/2/2015). (HERKA YANIS PANGARIBOWO/BOLA/JUARA.NET)

Berpatokan pada dua kasus itu, apakah lisensi pelatih tidak berbanding lurus dengan kualitas tim? Para pelatih sepakat mengatakan tidak.

Buktinya, dari enam gelar LSI yang sudah berlalu, empat di antaranya diraih oleh pelatih yang berlisensi sesuai standar.

Dengan kata lain, kualitas pelatih tetap dipengaruhi oleh lisensi yang dikantonginya.

Suara senada bahkan datang dari Kas.

"Meski saya membawa tim menjadi juara dengan lisensi tak sesuai standar, bukan berarti lisensi pelatih tidak penting. Saya yakin jika pelatih ikut kursus yang lebih tinggi, maka kualitasnya akan bertambah," tuturnya.

Sejak era LSI, operator liga dan PSSI menyadari hal itu. Namun, peraturan minimal A AFC sulit direalisasikan sejak musim 2008/09. Dalam setiap musim LSI hampir selalu ada tim yang tidak memenuhi syarat tersebut.

Ada klub yang bahkan lebih memilih "meminjam" pelatih dengan lisensi sesuai regulasi. Lihat yang dilakukan Perseru misalnya, yang mengontrak Hanafi (lisensi A AFC) karena pelatih Agus Sutiono tak memenuhi asas legalitas yang disyaratkan PT GTS sebagai operator TSC.

"Setelah Agus Sutiono mengundurkan diri usai kalah telah 1-5 dari Barito, saya diminta manajemen menjadi pelatih kepala. Sebelumnya, saya fokus di pembinaan usia muda," kata Hanafi.

Ia mengaku tak tahu alasan klub melakukan "akal-akalan" sejenis. Tapi, mantan arsitek Persiram tersebut berharap semua pengelola klub belajar mematuhi aturan.

"Ini soal apresiasi terhadap pelatih. Cara meminjam lisensi seperti itu seharusnya tak boleh dilakukan," katanya.