Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Dinamika Tarikan Kampung, Solusi Berbuah Petaka

By Minggu, 10 Januari 2016 | 11:21 WIB
Saktiawan Sinaga, otot tendonnya putus saat berlaga di Kapolres Cup Belawan. (ABDI PANJAITAN)

Tahun 2015 meninggalkan duka sangat mendalam bagi sepak bola Indonesia. Pembekuan PSSI yang dilakukan Menpora Imam Nahrawi menyebabkan efek domino sangat kompleks.

Kompetisi profesional hingga amatir berhenti seketika. Ribuan pemain kehilangan arah untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya.

Sudah tak ada lagi gaji atau uang kontrak yang didapatkan dari klub yang berkompetisi.

Memasuki semester kedua 2015, baru ada turnamen seperti Piala Kemerdekaan, Piala Presiden,dan Piala Jenderal Sudirman, yang membuat sebagian pemain mendapatkan bayaran dari klub.

Namun, turnamen itu hanya bermanfaat bagi sebagian pemain yang sudah berkarier di kasta tertinggi. Mereka yang hanya tampil di kasta kedua harus gigit jari. Turnamen besar untuk klub-klub mereka terbatas.

Tanpa kompetisi reguler, mayoritas pemain terpaksa menggantungkan periuk keluarganya pada tarikan kampung (tarkam).

Akan tetapi, meski menjadi solusi sementara, turnamen dan tarkam yang digelar di berbagai pelosok daerah di Indonesia berisiko tinggi.

Banyak korban telah berjatuhan karena main tarkam. Yang membuat semakin ironis, korbannya ialah pemain tenar yang selama ini sering membela timnas Indonesia.

Sebut saja Zulham Zamrun, yang mengalami cedera lutut saat tampil dalam Habibie Cup di Makassar.

“Trauma bermain di tarkam jelas. Mungkin saya tak akan bermain di tarkam lagi. Namun, yang perlu diperhatikan ialah lebih berhati-hati. Pasalnya, bermain di kompetisi profesional pun pasti ada risiko cedera,” kata Zulham.