Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Tahun 2015 meninggalkan duka sangat mendalam bagi sepak bola Indonesia. Pembekuan PSSI yang dilakukan Menpora Imam Nahrawi menyebabkan efek domino sangat kompleks.
Kompetisi profesional hingga amatir berhenti seketika. Ribuan pemain kehilangan arah untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya.
Sudah tak ada lagi gaji atau uang kontrak yang didapatkan dari klub yang berkompetisi.
Memasuki semester kedua 2015, baru ada turnamen seperti Piala Kemerdekaan, Piala Presiden,dan Piala Jenderal Sudirman, yang membuat sebagian pemain mendapatkan bayaran dari klub.
Namun, turnamen itu hanya bermanfaat bagi sebagian pemain yang sudah berkarier di kasta tertinggi. Mereka yang hanya tampil di kasta kedua harus gigit jari. Turnamen besar untuk klub-klub mereka terbatas.
Tanpa kompetisi reguler, mayoritas pemain terpaksa menggantungkan periuk keluarganya pada tarikan kampung (tarkam).
Akan tetapi, meski menjadi solusi sementara, turnamen dan tarkam yang digelar di berbagai pelosok daerah di Indonesia berisiko tinggi.
Banyak korban telah berjatuhan karena main tarkam. Yang membuat semakin ironis, korbannya ialah pemain tenar yang selama ini sering membela timnas Indonesia.
Sebut saja Zulham Zamrun, yang mengalami cedera lutut saat tampil dalam Habibie Cup di Makassar.
“Trauma bermain di tarkam jelas. Mungkin saya tak akan bermain di tarkam lagi. Namun, yang perlu diperhatikan ialah lebih berhati-hati. Pasalnya, bermain di kompetisi profesional pun pasti ada risiko cedera,” kata Zulham.
“Bagaimanapun juga, turnamen dan tarkam sangat berbeda dari kompetisi. Tarkam tak punya aturan jelas, misalnya honor dan kontrak pemain, hingga jaminan keselamatan bagi pemain bila mengalami cedera,” kata Irwansyah, pelatih fisik Mitra Kukar.
Infrastruktur seperti lapangan untuk bertanding pun, lanjut mantan pelatih fisik Semen Padang itu, pasti jauh dari standar yang biasa dipakai klub-klub profesional.
“Coba diselisik, penyebab utama pemain-pemain yang cedera itu pasti lapangan, bukan karena benturan dengan pemain lain. Permukaan lapangan yang tak rata sangat berbahaya bila pemain salah tumpuan ketika terjatuh,” tutur Irwansyah.
Padahal, pemain yang saat ini dibekap cedera sangat berpengalaman bagaimana menjaga kebugaran dan keselamatan pribadinya saat bertanding.
“Musibah Zulham bisa menjadi contoh kasus. Jika dia tidak bernafsu bermain di Habibie Cup, cedera itu tak akan didapatnya. Sekarang, dia harus mengeluarkan biaya ratusan juta rupiah untuk operasi dan pemulihan. Ancaman lain, karier pemain yang cedera bisa tamat bila mereka tak bisa pulih total. Namun, saya berdoa bisa cepat sembuh karena mereka aset bangsa,” ujar Irwansyah.
Selain Zulham, masih ada sederet pemain lain yang terpaksa menepi akibat mendapatkan cedera di laga tarkam, seperti Ramat Latif di Habibie Cup dan Saktiawan Sinaga di Kapolres Cup Belawan.
Menurut Zulham, bila para pemangku kepentingan tak ingin menambah panjang daftar pemain yang menjadi korban tarkam, kompetisi harus segera digulirkan
Penulis: Kukuh Wayudi/Gonang Susatyo