Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
"Pernah perlu tiga atau empat menit sampai akhirnya dia mengatakan sesuatu. Sering kali dia tergantung pada penerjemah sehingga sangat sulit baginya memberikan pengarahan saat jeda pertandingan," kenang kiper Mark Bosnich, yang sempat dua tahun dilatih Ranieri di Chelsea.
Chelsea dengan sejuta ekspektasi yang membebani membuat pelatih berjulukan The Tinkerman tersebut cenderung sok tahu kala itu. Pelatih asal Italia ini terkenal gemar gonta-ganti pemain sehingga susunan tim inti Chelsea tak pernah sama dari satu pertandingan ke pertandingan lain.
Hasilnya, Ranieri malah tidak pernah merasakan kebahagiaan dan menjadi juara bersama Chelsea. Ranieri justru terjungkal saat The Blues memulai era kepemilikan Roman Abramovich.
Hidup Baru
Sejak Juli lalu, Ranieri menangani Leicester setelah pemecatan Nigel Pearson. Namun, Ranieri kali ini hadir dengan kemampuan bahasa, pemahaman kultur sepak bola Inggris, serta pengalaman manajemen yang meningkat.
Leicester sendiri seperti memberikan ruang yang cocok buat sang pelatih.
Apalagi, Leicester bukan klub seperti Chelsea, Juventus, Roma, atau Monaco, deretan tim besar yang pernah dibesut Ranieri dan memberikan tekanan ekspektasi besar.
Dengan suasana yang lebih tenang dan tanpa pemain bintang, Ranieri malah dapat bebas mengerahkan kemampuan manajerial terbaiknya, membuat tidak ada yang menyangka bahkan fan Leicester yang paling loyal sekalipun pada pencapaian tim kebanggaan mereka sejauh ini.
"Resep paling penting ialah semangat tim. Kedua, para pemain dapat menikmati sesi latihan. Kedua hal ini krusial supaya mereka bisa bekerja keras sekaligus menikmatinya," ungkap Ranieri.
Selain itu, meski performa tim cenderung stabil, Ranieri terus mengingatkan pasukannya untuk tahu diri agar menjadi lebih tangguh ketika kondisi tiba-tiba berubah menjadi tidak nyaman.