Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Sebuah jajak pendapat menarik dikemukakan Talksport pada Selasa (15/12/2015). Isinya mengenai perbandingan situasi antara Leicester City dan Chelsea di Premier League musim ini.
Kompetisi Liga Utama Inggris musim ini berlangsung ganjil dan di luar prediksi. Secara tak terduga, Leicester melesat ke puncak klasemen. Pada kutub yang lain, juara bertahan Chelsea berkutat di bibir jurang degradasi. Sungguh perputaran nasib terjadi begitu cepat dan tak terduga.
Simak perbedaan kondisi kedua tim dibandingkan musim lalu. Pada 16 partai pertama EPL 2014-2015, Chelsea berada di posisi teratas dengan raihan 39 poin. Mereka mengemas 12 kemenangan, tiga kali seri, dan hanya sekali kalah.
Situasi berlawanan terjadi amat drastis setahun berselang. Dalam jumlah pekan yang sama, The Blues tak sampai meraup separuh angka musim lalu. Pasukan Jose Mourinho kini cuma punya 15 poin hasil dari empat kemenangan, tiga kali seri, dan sembilan kekalahan.
Tengok rapor Leicester. Pada titik yang sama musim lalu, Si Rubah berada di dasar klasemen! Mereka cuma memiliki 10 poin berkat dua kemenangan dan empat skor imbang. Kini, perolehan Leicester meningkat hampir empat kali lipat.
Pertanyaan pun muncul. Mana yang lebih mungkin? Leicester juara Premier League musim ini atau Chelsea yang terdegradasi?
Dari 2.314 suara dalam jajak pendapat tersebut, sebanyak 59 persen atau mayoritas menilai The Foxes lebih punya kans menjuarai liga. Sisa 41 persennya menilai Chelsea akan terdegradasi.
Distingsi angka itu membuktikan bahwa masih banyak yang memprediksi nasib baik akan menghampiri Leicester dan Chelsea. Masih tersisa 22 partai alias maksimal 66 poin yang bisa diraih guna membuktikan perkiraan tersebut.
Jika sejarah menjadi patokan berikutnya, Leicester setidaknya memiliki garansi peluang finis di zona Liga Champions berbekal 35 poin saat ini. Sebelumnya, tak pernah ada klub yang gagal finis di empat besar setelah mengumpulkan 35 angka atau lebih dalam 16 partai perdana Premier League.
Target tersebut sudah sangat memuaskan bagi klub yang musim lalu berkutat dengan misi selamat dari jerat degradasi. Pertanyaannya, sanggupkah Leicester mempertahankan kestabilan sampai titik akhir?
Jawabannya bisa saja, asalkan Manajer Claudio Ranieri tak kehilangan tenaga andalan seperti Jamie Vardy dan Riyad Mahrez. Leicester diuntungkan oleh performa stabil kedua pemain kejutan tersebut sejak awal musim.
Vardy selalu tampil sebagai starter sejak pekan perdana, sedangkan Mahrez cuma absen sekali. Alhasil, Ranieri kini tercatat sebagai pelatih yang paling jarang melakukan rotasi di tim, setelah Swansea-Watford. Ia baru memakai tenaga 20 personel dan melakukan 13 kali pergantian pemain.
Jika Ranieri tak pandai-pandai memeratakan tenaga anak buahnya di tim, selalu ada risiko cederanya pemain andalan akibat terlalu diperas. Belum lagi menghitung peluang skuat Leicester digembosi dengan hengkangnya beberapa pemain kunci pada bursa transfer Januari nanti.
Bagaimana dengan Chelsea? Sejarah mencatat ada 96 tim di EPL yang mendapatkan 15 poin atau kurang setelah melakoni 16 pertandingan awal. Sebanyak 50 tim atau lebih dari separuh di antaranya terdegradasi pada akhir musim. Posisi finis rata-rata mereka berada di peringkat ke-17.
Dari tim-tim tersebut, hanya ada dua yang sukses mengakhiri kompetisi di susunan 10 besar, yakni Crystal Palace musim lalu (10) dan Fulham pada 2010-2011 (8). Apakah kiprah Chelsea nanti akan seperti mereka berdua, lebih baik, atau serupa 50 tim yang bernasib buruk tadi?