Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Timnas U-19 dan 'Si Kepala Batu'

By Jalu Wisnu Wirajati - Sabtu, 22 Agustus 2015 | 18:45 WIB
Indonesia U-19 jelang final Piala AFF 2013. (Getty Images)

Maklum, entah apa yang ada di dalam pikiran para pengurus PSSI ketika memutuskan menggelar Tur Nusantara dengan lebih dari 40 laga uji coba yang dianggap sebagai persiapan "ideal" Piala Asia. Alhasil, mereka gagal total dan faktor kelelahan dari berbagai uji coba itu dianggap sebagai salah satu penyebab utama.

Kali ini, kondisinya tidak jauh berbeda. Bahkan, lebih parah karena Indonesia tidak dapat berpartisipasi di sejumlah turnamen internasional lantaran adanya sanksi FIFA. Federasi sepak bola dunia itu menganggap adanya intervensi pemerintah ketika membekukan PSSI.

Keputusan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi ketika membekukan PSSI memang memunculkan pro-kontra dalam masyarakat. Pro untuk yang menginginkan pembenahan total dalam struktur kepengurusan PSSI, kontra bagi para jutaan pemain, termasuk talenta muda, yang menggantungkan hidupnya terhadap sepak bola.

Namun, setelah empat bulan sanksi itu dikeluarkan, rasanya publik belum melihat hasil dan jalan keluar positif untuk membenahi sepak bola Indonesia. Justru tampaknya unsur politis makin terlihat kental ketika hukum dijadikan pelindung dalam penyelesaian konflik antara PSSI dan Menpora.

Sejak awal publik menanti blueprint pembenahan yang dijanjikan Menpora. Namun, apakah konsep itu hanya mencakup pembentukan kompetisi baru saja? Apakah dengan adanya kompetisi baru itu penyakit lama sepak bola Indonesia, seperti pertikaian serta kericuhan di dalam lapangan, bisa teratasi?

Ah, sudahlah. Toh, sejarah membuktikan, jika masih terus diwarnai pertikaian, konflik, serta rasa tidak saling peduli, sepak bola Indonesia akan terus dipenuhi ketidakpastian, intrik, dan rivalitas bersambung-sambungan. Jika sudah begitu, jelaslah para pemain yang akan selalu menjadi korban.

Kompromi

Oleh karena itu, pemerintah dan PSSI harus berkompromi agar berbagai ketidakpastian sepak bola Indonesia dapat segera terselesaikan. Belum bosankan kita menyaksikan konflik yang tidak jelas arahnya? Belum bosankah juga kita menyaksikan pertikaian selalu terjadi di lapangan sepak bola?

Piala AFF U-19 2015 hari ini kembali digelar. Indonesia pun tidak dapat berpartisipasi lantaran adanya sanksi FIFA. Sampai kapan kita terus berada di dalam kondisi seperti ini, sementara negara-negara Asia Tenggara lain sudah saling berlomba meningkatkan prestasi. Sejumlah pertanyaan itu kini hanya dapat dijawab oleh para pengurus, pemerintah, serta pemangku kepentingan sepak bola dalam negeri.

Toh, kalau mereka menghargai sejarah, benang kusut sepak bola Indonesia sejak lama pasti bisa sedikit terurai. Jika tidak, siap-siap saja kita terus merasakan pengulangan sejarah pertikaian dan konflik balas dendam yang kerap terjadi di dalam dunia sepak bola Indonesia seperti yang sudah terjadi beberapa tahun lalu.

Kesuksesan Evan Dimas dan kawan-kawan berpesta di podium kemenangan kini hanya tinggal kenangan. Perlu berapa tahun lagi kita dapat menyaksikan momen seperti itu jika kondisi sepak bola Indonesia terus tidak menentu? Apa perlu pertanyaan ini semua dijawab dengan sikap "kepala batu"? Semoga saja di balik memori indah sepak bola dua tahun lalu itu, mereka tidak keasyikan untuk terus berseteru...

"Semakin jauh Anda dapat melihat ke belakang, semakin jauh Anda bisa melihat ke depan." - Winston Churcill.

Tulisan ini menampilkan opini pribadi dari wartawan Juara.net, Ary Wibowo. Penulis bisa dihubungi lewat Twitter @iLhoo

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P