Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Saat kompetisi dihentikan, pelatih Eduard Tjong justru semakin memiliki waktu lebih banyak bersama keluarga. Meski berasal dari keluarga Nasrani, Edu -- sapaan akrabnya -- tetap bersiap merayakan Lebaran dengan keluarga besarnya. “Selalu ada berkah di balik musibah,” ujarnya.
Berikut wawancara kontributor Harian BOLA, Gonang Susatyo, dengan sosok yang terakhir kali menangani Persiram Raja Ampat tersebut.
Apa kegiatan Anda setelah kompetisi dihentikan?
Saya rutin melatih di Solo Football Academy (SFA). Untuk menjaga kondisi, saya biasanya ke tempat fitnes. Di lain waktu, saya bermain sepak bola dengan teman-teman satu angkatan seperti Agung Setyabudi (mantan kapten tim nasional dan pelatih Persis Solo), Nasrul Koto (mantan pemain timnas dan Arseto), Totok Supriyanto (Manajer Persis), dan banyak lagi.
Apa ada perbedaan melatih klub profesional dengan di akademi yang mayoritas pemainnya masih usia remaja?
Di akademi, saya punya kesempatan menerapkan teori skema bermain pada anak-anak. Saya ingin mengembangkan pola 4-1-4-1. Tampaknya anakanak juga suka dengan pola itu.
Saya juga tak terlalu memikirkan materi saat melatih di akademi. Bila pemain saya berkembang dan bahkan masuk timnas, hal itu menjadi kebanggaan khusus buat saya.
Saat kompetisi dihentikan, Anda sepertinya punya lebih banyak waktu dengan keluarga?
Ya, masa vakum ini menjadi waktu libur terlama bersama keluarga di sepanjang saya menjadi pemain dan kemudian pelatih. Dulu paling lama saya hanya satu bulan di rumah. Selanjutnya sudah disibukkan dengan melatih lagi.
Apa saja yang dikerjakan dengan keluarga di rumah?
Saya jadi punya waktu lebih dengan Stefano (Arsela) yang masih kuliah dan anak kami yang paling kecil, Syahira. Dia (Syahira) sesungguhnya keponakan. Tapi, karena sejak kecil tinggal bersama kami, dia sudah seperti anak sendiri.
Saya biasanya mengantarkan Syahira ke sekolah. Meski libur, di sekolahnya ada pesantren kilat dan dia aktif mengikutinya. Anak pertama kami, Gerisca (Scarabeli), sudah bekerja dan menetap di Yogyakarta.
Bagaimana pelatih harus bersikap di tengah konflik yang terjadi?
Sulit bagi pelatih untuk menanggapi situasi seperti ini. Di tengah kisruh saat ini muncul turnamen Piala Indonesia Satu dan Piala Kemerdekaan. Bisa jadi ada pemain dan pelatih yang waswas bila mengikutinya akan mendapat sanksi dari PSSI. Kalau tidak ikut ya bagaimana, kita punya pekerjaan di sepak bola.
Bagaimana dampak kekisruhan ini bagi pelatih maupun pemain?
Konflik baru berlangsung satu atau dua bulan saja sudah begini besar dampaknya. Bagaimana kalau sampai enam bulan atau lebih. Tapi, ini jadi pelajaran berharga bagi pemain. Pemain muda lebih baik menabung. Apalagi puncak karier mereka tak lama. Mereka juga bisa mengembangkan usaha atau bisnis atau menyelesaikan pendidikan sampai meraih gelar sarjana.
Saat ini menjelang Lebaran. Ada persiapan khusus untuk Lebaran di tengah keluarga?
Kebetulan, keluarga saya Kristiani. Tapi, banyak juga saudara kami yang Muslim. Saat Lebaran, mereka berkumpul di rumah kami. Pasalnya, istri saya merupakan anak tertua. Setelah ayah dan ibu dipanggil Tuhan, adik-adiknya dan keluarga selalu berkumpul di rumah kami saat Lebaran.
Itulah indahnya perbedaan dalam keluarga. Anak angkat kami, Syahira, juga Muslim dan berpuasa. Saat sahur, istri saya pun menyiapkan masakan untuknya. Jadi, selama puasa dan Lebaran, keluarga kami juga ikut sibuk. Bertoleransi.