Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Frustrasi karena tak bisa lagi menikmati sepak bola, Wahyu Tri Nugroho memilih untuk rehat. Ia meneruskan kuliah di pascasarjana Universitas Surakarta (UNSA).
Semangatnya untuk tampil di bawah mistar masih membubung tinggi kala kompetisi 2015 terhenti. Yang tersisa kemudian hanya kekecewaan.
“Saya dan pemain lain maupun pelatih hanya bisa menunggu kapan konflik ini selesai. Dengan demikian, kami bisa bermain lagi,” tutur Wahyu dalam wawancara dengan Kontributor Harian BOLA, Gonang Susatyo. Berikut hasil wawancara selengkapnya.
Sangat jarang pesepak bola kuliah sampai S-2. Apa pertimbangan Anda kuliah pascasarjana?
Saya ingin rehat dulu dari sepak bola dan mulai konsentrasi pada kuliah. Setelah lulus sarjana pada 2010, saya berniat meneruskannya di pascasarjana, tapi baru kali ini kesampaian. Di UNSA, saya tetap S-2 di FISIP.
Mengapa kuliah sampai program S-2?
Saya punya pertimbangan tersendiri. Saya ingin memiliki banyak opsi atau pilihan saat pensiun dari sepak bola. Saya bisa menjadi pelatih atau memilih menjadi birokrat atau bekerja di lembaga pemerintahan. Dengan disiplin ilmu sosial yang saya miliki, saya juga punya pilihan bekerja di swasta atau bisa menjadi dosen.
Apakah akan meninggalkan sepak bola saat usia belum memasuki masa pensiun bagi seorang kiper?
Tidak. Saya belum berpikir untuk pensiun. Rencananya, di putaran kedua kompetisi saya akan bergabung dengan salah satu klub. Tapi, rencana itu buyar karena kompetisi dihentikan. Siapa pun pasti kecewa dengan berhentinya kompetisi. Saya dan pemain lain serta pelatih sudah pasti kehilangan pekerjaan.
Ironis bila mendengar teman-teman mencari pekerjaan atau memulai usaha untuk menyambung hidup. Saya sendiri belum punya pekerjaan lain sehingga akhirnya mulai menghabiskan tabungan.
Bagaimana dengan perkuliahan Anda? Tetap diteruskan dalam situasi seperti sekarang ini?
Tentu saja. Dengan kuliah, paling tidak saya sudah mengantisipasi bila situasi seperti sekarang ini kembali terjadi pada masa mendatang.
Tapi, ada yang harus dibayar dari pilihan ini. Saya harus membagi waktu dan tenaga. Rutinitas latihan tak bisa ditinggalkan sambil kuliah.
Bagaimana dengan keputusan rekan-rekan pemain bola yang terjun di tarikan kampung (tarkam)?
Mau tidak mau hal itu menjadi pilihan mereka demi mendapatkan pemasukan. Saya pun ikut tarkam. Selain mendapat pemasukan, saya bisa menjaga kondisi dan reuni dengan teman-teman. Komunikasi dengan pemain lain tetap harus dijaga.
Bagaimana dengan kasus tunggakan gaji Anda dan pemain lain maupun pelatih di Persiba Bantul musim 2013-2014? Sudah ada penyelesaian?
Sampai saat ini belum ada penyelesaian. Kasus ini yang membuat saya frustrasi dengan sepak bola.
Selama dua musim berturut- turut, saya mengalami keterlambatan gaji, diawali saat Persiba ikut Liga Prima Indonesia (LPI).
Gaji pemain akhirnya diterminasi sehingga saya tidak menerimanya secara penuh. Situasi ini berlanjut di musim 2013-2014 saat Persiba kembali ke Liga Super Indonesia (LSI).
Gairah saya memang sempat kembali, tapi situasinya tidak tepat karena terjadi konflik Menpora dan PSSI.