Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Mencari Filosofi yang Pas

By Fajar Mutaqin Ahmad - Kamis, 13 Maret 2014 | 15:51 WIB
Pemahaman antara orang tua dan pembina serta atlet harus sama sejak awal. (Kukuh Wahyudi.)

Pembinaan usia muda adalah sebuah tahap fundamental yang sangat penting dalam olah raga prestasi. Demikian pula dalam sepak bola, hal itu menjadi kunci menuju puncak prestasi.

Sayang, di Indonesia pembinaan usia muda belum disentuh secara maksimal, serius, dan terprogram. Buktinya hingga kini PSSI bahkan mungkin organisasi olah raga di atasnya, belum memiliki filosofi yang tepat dalam pembinaan usia muda.

Hal ini menjadi hambatan dalam membentuk sebuah kerangka pembinaan olah raga, khususnya sepak bola. Menurut Nugraha Besoes, mantan Sekjen PSSI, pembinaan sepak bola di Indonesia itu mirip gelembung-gelembung udara. Selalu bermunculan, berkilau, dan mekar, tetapi selalu pecah, gagal, dan tak menghasilkan sesuatu sebelum mencapai puncaknya.

Kondisi ini bisa jadi dipengaruhi beberapa hal seperti filosofi yang belum kuat atau strategi PSSI dalam pembinaan usia muda yang belum tepat. Menurut Herbert Simon–peraih hadiah Nobel bidang ekonomi 1978–dibutuhkan waktu sepuluh tahun dalam latihan yang ekstensif untuk menjadi seorang ahli dalam hal apa pun.

Jika teori yang diajukan oleh ahli ekonomi, ilmu politik, ilmu kejiwaan, dan ahli sosiologi itu dijalankan, maka pembinaan yang serius harus dimulai sejak atlet berumur 13-15 tahun, untuk menghasilkan seorang atlet atau pesepak bola yang andal pada usia 23-25 tahun.

Untuk menjalani hal tersebut, maka tahapan seperti talent scouting, pengembangan, masuk akademi, masuk kompetisi pro dan menjadi pemain yang sukses harus diawali saat umur 13-15 tahun. Tanpa hal itu, jangan harap ada prestasi.

Namun, selama perjalanan menuju atlet berprestasi itu pemerintah atau negara atau federasi harus memiliki filosofi yang jelas dalam proses pembinaan. Dari berbagai negara yang mengembangkan filosofi pembinaan usia muda, menurut anggota Komite Pengembangan Usia Muda PSSI, Muhammad Arifin, Kanada memiliki filosofi yang pantas untuk dipertimbangkan menjadi contoh bagi Indonesia.

Salah satunya seperti yang dikembangkan Federasi Hoki Es Kanada dalam pembinaan pemain jangka panjang 10-20 tahun. Mereka memperkenalkan filosofi yang berbasis: 1. FUNdamental, 2. Learning the Skills, 3. Training to Train, 4. Training to Compete, dan 5. Striving to Win

Filosofi itu dimulai dari mengembangkan atau mengenalkan olah raga pada usia dini (0-6 tahun) yang disebut tahap permulaan (active starts). Selanjutnya mereka memperkenalkan tahapan-tahapan dasar dalam berlatih dan berkompetisi hingga persiapan bagi atlet untuk menghadapi masa pensiun.

Tahapan Latihan

Pada tahap FUNdamental, seorang anak atau calon atlet mulai mengenal gerakan dan keahlian dasar dalam sebuah olah raga. Selanjutnya adalah Learning the Skills, 8 sampai 12 tahun, seorang atlet diperkenalkan pada metode latihan, mempelajari skill, mulai mengenal perangkat khusus jika ingin berlatih. Mereka juga mengenal gerakan mendasar dalam suatu olah raga (tendang, kontrol, sundul).

“Pada tahap ini sebaiknya atlet putra dan putri berlatih bersama. Di Amerika Serikat, pesepak bola putra dan putri pada tahap ini digabung atau bermain bersama. Dampak baiknya, sepak bola putri di AS menjadi salah satu kekuatan di dunia. Namun, dampak buruknya, sepak bola dianggap sebagai olah raga kaum perempuan di sana,” kata Arifin.

Selanjutnya adalah tahap berlatih untuk latihan (Training to Train) umur 12-15, lalu berlatih untuk berkompetisi (Training to Compete) umur 15-19. Tahap berikutnya adalah berjuang untuk menang (Striving to Win) pada usia 19 tahun ke atas, yakni memaksimalkan kemampuan dalam kompetisi untuk menang serta menjalani sepak bola atau olah raga bagi kehidupannya.

Tahap terakhir adalah persiapan pensiun, di mana seorang atlet mempersiapkan dirinya untuk menghadapi masa pensiun dari dunia olah raga karena berbagai faktor, misalnya usia. “Sebenarnya ada banyak filosofi atau memodifikasinya. Di Jerman, bahkan tahap berkompetisi untuk menang sudah dilakukan sejak usia 16 tahun,” kata Arifin.

Ada beberapa kelemahan dan kelebihan soal ini. “Jika tahap berkompetisi untuk menang itu dikenal sejak usia lebih dini akan ada dua risiko. Si atlet jika menang atau sukses, ada kecenderungan sombong, dan malas berlatih sehingga tahap selanjutnya ia justru gagal. Ini kebanyakan menghantui atlet Indonesia yang sudah dikenalkan pada filosofi harus menang sejak usia di bawah 15 tahun,” kata Arifin. Namun, jika sukses seperti atlet Jerman, maka nafsu berkompetisi atlet menjadi sangat tinggi.

Arifin pun mengajak PSSI dan pembina sepak bola nasional untuk mulai menentukan filosofi pembinaan sepak bola Indonesia, dengan memberikan berbagai tahapan serta menyatukan visi semua pihak. Mulai dari orang tua, atlet, pelatih atau pembina, klub, sekolah, dan federasi harus memiliki visi sama dalam mengembangkan anak atau atlet.

FILOSIFI PEMBINAAN USIA DINI
Active start (0–6 tahun)
Fundamental (pa: 6-9, pi: 6-8)
Learning to train (p a: 9-12, pi: 8-11)
Training to train ( pa: 12-16, pi: 11-15)
Learning to compete (pa : 16-18, pi:15-17)
Training to compete (pa : 18-21, pi: 17-21)
Learning to win (pa: 20-23, pi: 20-23)
Winning for a living (pa dan pi: 23 +/-)
Active for live (per siapan pensiun)

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P