Moses coba memberontak. Perpanjangan kontrak dari Wigan ditolak mentah-mentah. Padahal, masa baktinya bakal berakhir musim panas tahun depan. Hingga pada akhirnya, Wigan menyerah dan mengamini proposal kelima yang dilayangkan Chelsea.
Pemberontakan Moses bukanlah tanpa alasan. Chelsea jelas merupakan titik puncak perjalanan hidup dari seseorang yang memiliki masa kecil kelam. Seragam The Blues dan kiprah pada ajang sekelas Liga Champions adalah bayaran atas perjuangan hidup Moses, sekaligus persembahan spesial untuk almarhum kedua orang tuanya.
"Jelas, dimanapun mereka berada, mereka harus bangga padaku, melihat ke bawah dan merasa bangga," tutur Moses merujuk pada kedua orang tuanya.
Tak Lupa Tanah Leluhur
Di Inggris, karier sepak bolanya melesat bagaikan roket. Negeri ini bagaikan zona nyaman hingga Moses melupakan fase tragis dalam hidupnya. Tak ayal, seragam The Three Lions pada berbagai level junior sempat membalut tubuhnya.
Bahkan, dia berkontribusi besar atas laju Inggris ke final Piala Eropa U-17 2007 di Belgia. Catatan tiga gol pada turnamen berujung predikat top skorer pada Moses. Dia bersanding dengan gelandang Jerman, Toni Kroos.
Namun, memori kelam tak membuat dirinya lupa pada tanah leluhur. Sebuah panggilan dari Nigeria diterima pada Februari 2011. Hanya saja, pertandingan ujicoba yang direncanakan melawan Guatemala itu dibatalkan. Sebulan setelahnya, Moses kembali masuk skuad untuk laga kontra Ethiopia dan Kenya. Kepulangannya kembali tertunda lantaran polemik kewarganegaraan.
Sang pemain enggan menyerah. Sembilan bulan berselang, permohonannya untuk memperkuat Super Eagles direstui FIFA. Partai Piala Afrika kontra Rwanda resmi menjadi debut internasional Moses.
"Aku bermain untuk Inggris U-16, U-17, U-20, dan U-21. Lalu aku memutuskan bermain untuk Nigeria," tutur Moses bangga.
Laporan Tribunnews
Editor | : | Wisnu Nova Wistowo |
Komentar