Ini mungkin Proklamaton yang paling meriah. Bagaimana tidak kalau tak kurang dari sepuluh menteri, disamping Wapres Umar Wirahadikusumah yang meletupkan pistol start, ikut pula berlari santai. Belum yang lain seperti Pangdam V Jaya Mayjen Try Sutrisno yang juga melibatkan 1.600 personil Satbanpur Dinas dan Jawatan Kodam V Jaya untuk ikut ambil bagian dalam lomba lari jarak jauh ini. Juga Gepeng, Euis Darliah, Victor Hutabarat, dan band Aria Yunior ikut menghibur sekitar 15.000 peserta yang kelelahan.
Tapi sayang, justru pelaksanaan perlombaannya sendiri kalang kabut. Semrawut. Memang belum fatal, buktinya para pemenangnya bisa ditentukan tanpa protes-protes. Dua anak kampung, Solichin dari Pasar Minggu dan Sarmiati dari Lampung, tampil sebagai juara dengan waktu 2 jam 39 menit dan 59 detik dan 3:33:56.
Kesemrawutan dimulai 10 menit sebelum start. Para peserta berusaha mencari tempat terdepan waktu panitia memberi tanda perlombaan akan dimulai. Entah siapa yang memulai, mereka langsung saja berhamburan keluar Stadion Utama Senayan sebelum waktunya. Apalagi pistol start di tangan Wapres sempat macet empat kali, maka tak terkecuali, Solichin pun ikut terjatuh didorong pelari lain dari belakang.
Start diulang, tapi sebagian sudah kabur mendahului. Sayangnya pula, waktu start antara pelari 17, 8 dan 45 km terlalu pendek. Akibatnya, menyulitkan pengawalan dan yang dikawal. Rute pun menjadi simpang siur. Juga belum tampak adanya kedisiplinan peserta, sehingga peserta yang mempunyai jam lebih cepat bercampur-baur dengan lainnya.
Akibatnya, banyak peserta salah rute, seperti yang dialami Maria Lawalata (UMS). Terpaksa membuang tenaga, waktu, dan jarak tempuh dengan sia-sia, karena berlari berlawanan dengan arah yang seharusnya ia tempuh. Akhirnya ia harus puas di urutan ketiga, di bawah Sarmiati dan Siu Chen.
"Saya sudah sampai Jembatan Semanggi, terpaksa harus mengulang start ulang lagi di Stadion," ujar Siu Chen, pelari putri UMS lainnya yang bernasib serupa Maria. Begitu pula yang dialami Yacob Atarury pelari nasional asal Irja, yang kemudian masuk finish sesudah Solichin dan N. Sagala dari Polri.
Lain lagi dengan Ali Sofyan. Si raja jalanan ini start belakangan karena hanya ikut nomor 17 km. Tapi ia menjadi kesal karena tak habis-habisnya peserta yang harus disalib, hingga ia memilih mundur.
Pelari nasional lainnya, Gatot Sudarsono, yang baru sebulan lalu memenangkan maraton Sriwedari di Yogyakarta, kali ini hanya turun di nomor 8 km karena sedang dipersiapkan untuk Pesta Sukan di Singapura, 24-26 Agustus ini. Kekesalan pun tak terhindar dari padanya gara-gara kesemrawutan itu.
Yang tak kalah lucunya justru para pencatat waktu untuk nomor 8 km. Mereka merasa "kesepian", karena tak ada pelari yang bisa dicatat. Terpaksa mereka mencari-cari di dalam stadion peserta yang seperempat jam sebelumnya sudah masuk finis. Rupanya tempat mangkal juru catat waktu, tidak dilewati pelarinya.
"Untung kali ini kita tidak mengundang pelari-pelari asing," ujar M. Asro, pelatih klub Indonesia Muda yang juga anggota Komisi Teknik PB PASI, penyelenggara lomba ini. Adapun Solichin, yang juga anak buah Asro, dinilainya tampil cemerlang.
"Sebenarnya Solichin sudah tertinggal sepuluh menit dari rombongan terdepan," tutur Asro. Tapi dengan segala kepercayaan pada diri sendiri yang besar akhirnya ia mampu menyusul pada km 30. Di sinilah pula pengalaman berbicara. Anak pedagang lontong yang bersaudara 13 ini tidak hanya menempel, tapi menyodok. Sagala yang belum begitu berpengalaman, dan Yacob yang terkena sakit perut pada km 38, ditinggalkannya.
Lucunya lagi, begitu Solichin memasuki stadion, nama yang diumumkan Yusuf Adisasmita dari PB PASI sebagai pemenang adalah Wolter Monginsidi. Entah dari mana ia pungut nama itu. Yang jelas, kesemrawutan jadi tambah lengkap. Sungguh memprihatinkan. Sebab, bukankah PB PASI tidak cuma menginginkan banjirnya peserta untuk berhura-hura?
(Penulis: A. Waluyono, Tabloid BOLA edisi no. 26, Jumat 24 Agustus 1984)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar