Hal itu dikarenakan usianya yang masih 18 tahun pada saat itu, namun tekatnya yang kuat tidak menyurutkannya untuk ikut terlibat dalam pentas kejuaraan karate pada Pekan Olahraga Nasional.
”Latihan itu kayak ngasah mata pisau. Kalau rajin diasah lama-lama bakal tajem, tapi kalo nggak diasah, bisa tajemnya segitu aja atau malah tumpul,” bijak penyuka bakso yang akhirnya tetap ikut PON meski bukan sebagai atlet.
”Aku tetap ikut sebagai official, jadi pendampingnya atlet senior gitu."
Aku nemenin mereka, bantuin kalo mereka butuh peralatan aku yang bawain, mau minum aku yang sediain, kayak babu gitu sih, tapi babunya senior,” kenang Ceyco ketika di PON kota Bandung 2016 silam.
Kata Ceyco, nggak hina menjadi ”babu” untuk atlet senior yang didampinginya. Selama kita mau mengambil pelajaran berharga dari mereka, ada saja yang bisa dipetik oleh seorang atlet karate yang masih diposisi junior sepertinya.
"Untuk itu, Ceyco suka memperhatikan sikap para atlet sebelum mereka menghadapi pertandingan."
"Ngeliat gimana, sih, pengalaman jadi atlet karate, aku belajar soal mengatasi ketegangan sebelum bertanding."
Karena pada kenyataannya, dalam situasi perlombaan atlet pasti bakal merasa tegang karena ajang PON ini digelar empat tahun sekali."
"Mereka udah latihan dan nunggu momen ini, pas event-nya berlangsung kadang ada rasa takut kalah dan itu wajar, tapi aku belajar untuk meredam ketegangan biar mainnya maksimal," jelasnya.
Ceyco sendiri sewaktu menjadi juara dunia karate juga bukanlah lawan yang enteng, banyak lawan dibuat tak berdaya di hadapannya.
Sebab dirinya sempat mengalahkan lawannya setelah 6 kali bertarung dengan atlet asal India, Jepang, Polandia, Brazil, Hungaria dan Turki.
Editor | : | Nugyasa Laksamana |
Sumber | : | Intisari Online |
Komentar