Mereka pindah dari padang rumput yang satu ke padang rumput lainnya setiap tujuh sampai sepuluh minggu.
Komunitas kecil penggembala rusa ini adalah salah satu dari sedikit suku yang tersisa.
Para penggembala Dukha ini bergantung pada rusa mereka untuk hampir semua aspek kehidupan, serta identitas dan spiritual.
(Baca Juga: Piala Thomas 2018 - Firman Abdul Kholik Bawa Indonesia menjadi Juara Grup B)
Tetapi, ketika perkembangan modern mulai memasuki kehidupan mereka yang terpencil, tradisi kuno mereka terancam mati.
Saat ini, mungkin hanya ada 40 keluarga yang tersisa dengan sekitar 1.000 rusa.
Ancaman terbesar dalam pandangan antropolog Sardar-Afkhami adalah pembelotan dari generasi muda Dukha yang tidak ingin hidup dalam kondisi yang keras di taiga (hutan salju di musim dingin).
Munculnya penambangan emas di daerah itu, serta peraturan pemerintah untuk membatasi perburuan Tsaatan juga menjadi faktor yang mengancam bagi keberadaan suku tersebut.
Sebagai kompensasi atas pembatasan perburuan, setiap keluarga dibayar sekitar $150 (sekitar Rp2 juta).
Yang lebih menambah kesengsaraan Dukha, jumlah rusa yang sangat bergantung pada mereka juga telah berkurang secara drastis karena penyakit dan kurangnya perawatan.
Semua faktor tersebut telah memaksa sebagian Dukha untuk bergantung pada uang dari pariwisata untuk bertahan hidup.
Editor | : | Imadudin Adam |
Sumber | : | edition.cnn.com |
Komentar