Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Saul Niguez dan Atletico Bukan Cinta Sebelah Tangan

By Sabtu, 15 Juli 2017 | 11:35 WIB
Pemain Atletico Madrid, Yannick Ferreira Carrasco (kanan), merayakan golnya ke gawang Malaga bersama rekan setim, Saul Niguez, dalam partai La Liga di Stadion Vicente Calderon, Madrid, 29 Oktober 2016.
CURTO DE LA TORRE/AFP
Pemain Atletico Madrid, Yannick Ferreira Carrasco (kanan), merayakan golnya ke gawang Malaga bersama rekan setim, Saul Niguez, dalam partai La Liga di Stadion Vicente Calderon, Madrid, 29 Oktober 2016.

Jarak antara markas Real Madrid di Avenida Concha Espina dengan markas Atletico Madrid di Paseo Virgen del Puerto adalah 15 kilometer. Hanya 20 menit ditempuh dengan kendaraan. Namun, saking kencangnya rivalitas antara kedua tim itu, ketika seorang pemain Atletico pindah ke Real, maka mereka disebut sebagai traitor alias pengkhianat. 

Penulis: Dian Savitri

Kedengarannya sangat kejam. Namun, tidak demikian dengan sebaliknya, ketika pemain Real Madrid pindah ke Atletico Madrid.

Tidak ada julukan khusus untuk itu, tapi pemain yang menempuh trajectoria seperti itu biasanya akan sukses.

Salah satunya adalah Saul Niguez. Pemain kelahiran Elche itu menjadi gelandang tak tertandingi di Atletico. Ia menjadi sosok sentral.

Perannya sangat vital. Namun, Atletico tidak bertepuk sebelah tangan, sebab Niguez juga cinta setengah mati dengan Atletico meski dia pernah belajar sepak bola di La Fabrica, akademi Real.

Salah satu kisah heroik yang dijalani oleh Niguez adalah bagaimana ia tetap bermain meski mengalami masalah dengan ginjalnya. The Guardian mengisahkan pada Februari 2015, di Bay Arena, Leverkusen.

Niguez nyaris tak bisa berdiri, harus dipapah oleh tim medis menuju ke ruang ganti. Mereka harus berhenti selama tujuh kali karena Niguez berkali-kali muntah. Saat itu adalah kondisi puncak rusaknya ginjal Niguez.


Aksi selebrasi gelandang Atletico Madrid, Saul Niguez, seusai mencetak gol ke gawang Bayer Leverkusen dalam laga 16 besar Liga Champions 2016-2017 di Leverkusen, pada 21 Februari 2017.(PATRIK STOLLARZ/AFP)

Selama dua tahun sebelum peristiwa itu, setiap kali kelar berlatih dan bertanding, Niguez buang air kecil dengan urine mengandung darah. Setiap hari harus dilalui dengan rasa sakit, berisiko tinggi.

Akan tetapi, Niguez tidak berhenti, bahkan ketika ia yakin hidupnya akan berakhir.

“Selama dua tahun itu saya bermain dengan kateter internal. Saya kencing darah setiap kali selesai berlatih dan bertanding. Saya memang tidak mendahulukan kesehatan, supaya bisa membela Atletico dan memenuhi impian. Saya memang berjudi ketika itu,” kata Niguez.

Baca Juga:

Hal itu menjadi bukti betapa cintanya Niguez pada Atletico. Atletico pun memberikan penghargaan yang setimpal. Pada 1 Juli lalu, Niguez resmi memperpanjang kontrak yang akan mengikatnya hingga Juni 2026.

Pada saat itu, usia Niguez masih relatif muda, yaitu 31 tahun.

“Saya sangat bahagia dengan kontrak itu. Di Atletico, kami adalah keluarga dan tidak ada tempat yang lebih baik dibandingkan klub ini. Saya akan bekerja dengan potensi penuh untuk membayar kembali kepercayaan yang diberikan klub. Saya sangat berterima kasih pada rekan setim dan pelatih yang telah membuat saya seperti saat ini,” kata pemain kelahiran 21 November 1994 itu.

 

Mungkin Saul Niguez juga bisa menyebut Atletico sebagai penyelamat. Kisahnya dimulai ketika ia meninggalkan kota kelahirannya, Elche, untuk bergabung dengan akademi Real Madrid. Ketika itu, usianya baru 11 tahun.

Korban Bully

Niguez tidak memiliki kenangan lain selain memori buruk selama ia berada di La Fabrica. Niguez menjadi korban bully ketika di Real. Akan tetapi, Niguez tidak menyebut hal itu sebagai sesuatu yang menyakitkan untuk dibicarakan.


Gelandang Spanyol, Saul Niguez, merayakan gol yang dia cetak ke gawang Portugal dalam laga Grup B Piala Eropa U-21 di Stadion Miejski, Gdynia, Polandia, pada 20 Juni 2017.(MACIEJ GILLERT/AFP)

“Sama sekali bukan hal yang menyakitkan, tetapi menjadi sebuah pengalaman yang berharga. Dalam artian, saya bisa menjadi dewasa, belajar banyak hal. Tapi, tetap saja sulit untuk anak berusia 11 tahun,” kata Niguez.

Setelah dua tahun berada di Real, pada Juli 2008, Niguez pindah ke Atletico. Pada saat itu, ia menyadari bahwa dunia sama sekali tidak berakhir hanya karena ia meninggalkan salah satu klub terbesar di dunia.

“Sejak masih kecil, saya selalu punya kepercayaan diri yang tinggi. Dunia tetap ada ketika saya meninggalkan Real. Bahwa saya akan bermain di tempat lain. Tujuan utama saya bermain sepak bola adalah untuk menikmatinya. Jadi, berada di Real dan meninggalkan klub itu sama sekali bukan trauma,” ujar pemain bertinggi 181 cm itu.

Baca Juga:

Di Atletico, terutama saat ini, Niguez bertemu pelatih seperti Diego Simeone. Pelatih asal Argentina itu tahu benar bahwa Atletico sangat beruntung mendapatkan pemain seperti Niguez.

“Dia selalu menjadi seorang central midfielder. Di sanalah ia merasa paling yakin bermain. Dia memiliki semua modal: tembakan dari jarak dekat, kemampuan untuk menguasai lapangan, bagus dalam duel udara, kuat bertahan, dan intensitas. Niguez sangat penting saat ini dan juga di masa depan, selama dia masih ingin terus berkembang,” kata Simeone.

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P

Editor : Beri Bagja
Sumber : Tabloid BOLA


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Close Ads X