Nama petenis putri asal Latvia, Jelena Ostapenko, mendadak mahsyur dengan status sebagai juara Grand Slam Prancis Terbuka 2017.Dia mengangkat trofi Suzanne Lenglen dalam usia 20 tahun dua hari.
Penulis: Dede Isharrudin
Banyak orang terpana dengan prestasi itu. Maklum saja, dengan menduduki peringkat 47 WTA apa yang dilakukan Ostapenko memang sebuah kejutan. Namun, perempuan yang doyan berdansa ini tidak melakukannya dalam semalam.
Tahun 2014, ia sudah mencatatkan diri sebagai juara Wimbledon junior. Jika kini menjadi juara grand slam sesungguhnya, maka itulah jalan hidup kampiun yang seharusnya terjadi.
Ya, dalam waktu tiga tahun, ia mampu mendorong dirinya lebih keras dalam berlatih, lebih kencang dalam melepaskan servis atau backhand yang menjadi pukulan andalannya, dan tak ketinggalan lebih tinggi dalam bermimpi.
Baca Juga:
- Antonio Ruediger Sebut Rumor ke Inter Milan Aneh
- Morata Hampir Gabung Man United, Meulensteen Khawatirkan Rashford
- Gianluigi Donnarumma Harus Jelaskan Keputusan Tolak Kontrak Baru di Milan
Tak heran, meski melewati tiga tahun tanpa gelar, Ostapenko terus memupuk asa. Mulai dari menginjak final turnamen ITF, lalu lolos dari babak kualifi kasi ke babak utama ajang WTA, hingga mengalahkan petenis-petenis top.
Tercatat nama-nama besar, seperti Carla Suarez Navarro, Svetlana Kuznetsova, Petra Kvitova, Andrea Petkovic, dan Caroline Wozniacki menjadi korbannya. Bahkan, Ostapenko unggul mutlak head to head, 4-0 atas Wozniacki, mantan petenis peringkat pertama WTA.
"Saya termasuk beruntung bisa memenangi grand slam di tengah persaingan tenis saat ini. Saya harus berusaha bermain dan memukul bagus karena ingin sekali memenangi semua gelar grand slam. Itu tujuan saya," ujar petenis yang mengidolakan Serena Williams itu.
Bermain dan memukul bagus sering nebjadi handicap bagi petenis muda yang melonjak seperti Ostapenko. Banyak petenis dengan status bintang dalam semalam lalu tenggelam karena tak mampu menghadapi tekanan. Namun, menurut pelatihnya, Anabel Medina Garrigues, hal itu tidak akan terjadi pada diri Ostapenko. Mengapa?
"Ia pemain yang berbeda. Jelena sering bermain bagus dan saat hal itu terjadi tak ada satupun yang bisa mengalahkannya. Ia hanya berusaha untuk terus bermain bagus dan menjaga diri dari cedera karena pada dasarnya Jelena tipe petenis yang selalu bergerak dan tidak bisa diam," ucap pelatihnya.
Bakat Sejak Kecil
Tipe orang yang tak bisa diam memang melekat pada diri anak pasangan Jelena Jakovleva dan Jevgenijs Ostapenko ini. Lahir dari orang tua yang doyan olahraga, Ostapenko kecil sejak berusia 5 tahun sudah dilatih mengayun raket.
"Saya ingat ketika masih sangat muda, berusia 7 atau 8 tahun, ia sudah bermain tenis dengan ibunya di klub tenis yang sama tempat saya berlatih," ujar Agnese Rozite, salah satu teman dekat, dikutip dari Worldtennismagazine.com.
"Sejak kecil ia sudah menunjukkan bakat. Namun, tetap saja tak ada yang menyangka bahwa seorang petenis dari Latvia bisa menjadi juara grand slam. Kini semua orang di Latvia percaya bahwa siapapun bisa mencetak sejarah dan apa yang dilakukan Jelena sangat menginspirasi anak-anak di Latvia," ujarnya.
Rozite menceritakan pula karakter cewek kelahiran 8 Juni 1997 itu yang tak bisa diam dan ingin segala sesuatu dengan cepat sangat berpengaruh pada cara dirinya bermain tenis.
"Ia tipe petenis yang ingin segera masuk ke lapangan, lalu bertanding, dan menghasilkan poin dengan cepat, kemudian sebisa mungkin menang pula dengan cepat. Oleh sebab itu, jika ada petenis yang ingin mengajaknya bermain reli, ia sebaliknya. Jelena ingin menyudahi dengan cepat," katanya.
Hal itu dibuktikan saat petenis dengan tinggi badan 177 cm itu mengalahkan Simona Halep di final Prancis Terbuka. Saking cepatnya ingin menuntaskan laga itu, ia mencetak 54 pukulan winner serta 54 kali pula melakukan unforced error. Prinsipnya, demi mengalahkan lawan, Ostapenko siap akan risiko gagal.
Editor | : | Delia Mustikasari |
Sumber | : | Tabloid BOLA No.2.777 |
Komentar