Kedua, pria yang akrab disapa Banur itu menjelaskan bagaimana sistem permainan memengaruhi terkikisnya jumlah striker lokal.
“Waktu zaman saya hampir 90% striker di liga merupakan pemain lokal. Striker lokal ketika itu punya kualitas bagus. Sekarang pos striker dimonopoli pemain asing," kata Banur.
"Klub dengan ekspektasi tinggi tentu menginginkan kemenangan. Striker asing dengan kualitas yang sudah terlihat menjadi pilihan dibandingkan pemain lokal."
"Skema permainan juga ikut memengaruhi. Kalau dulu ada pola 3-5-2 atau 4-4-2 yang membuat lini depan diisi dua striker, sekarang lebih memilih memperbanyak gelandang dengan striker tunggal."
"Slot striker itu sudah hampir pasti diisi pemain asing. Kalau dulu dengan kuota dua striker, klub bisa saja memainkan dua striker lokal atau satu penyerang asing dan satu lokal,” ucapnya.
Sistem bermain yang kini banyak menggunakan penyerang tunggal juga membuat tugas striker semakin berat. Dulu, target man identik dengan kelihaiannya menerima umpan silang.
"Slot striker itu sudah hampir pasti diisi pemain asing."
Eks Striker Timnas Indonesia, Bambang Nurdiansyah
Pergerakan mereka hanya di jantung pertahanan lawan. Jika tak berbadan jangkung untuk berduel udara, target man kudu punya kecepatan untuk lepas dari pengawalan bek lawan.
Kini peran tersebut berkembang. Target man harus mampu menahan atau melindungi bola. Sembari menahan bola, ia berpikir untuk melepaskan umpan ke ruang kosong.
Target man punya tugas makin kompleks karena kini juga dituntut bergerak, menggiring bola, mencari ruang.
“Dulu kalau bermain dengan dua striker, misalnya memasang Kurniawan dan Indriyanto. Kurniawan bertugas bergerak untuk mencari ruang dan lebih sering menggiring bola. Sementara Indriyanto sebagai target man, yang menerima umpan silang atau sekadar menjadi tembok," tutur Banur.
"Sekarang dua tugas itu harus diemban si striker tunggal. Transformasi tugas itu yang kini menjadi pekerjaan rumah striker-striker lokal,” ujarnya.
Editor | : | Estu Santoso |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar