Kemunculan Lerby Eliandry sebagai pemuncak daftar pencetak gol Liga 1 tentu mengejutkan. Padahal, kini Indonesia disebut tengah mengalami krisis striker lokal.
Penulis: Ferry Tri Adi
Minimnya kesempatan yang diberikan kepada striker lokal turut mengikis kualitas ujung tombak Tanah Air. Klub lebih memilih menurunkan pemain asing di pos tersebut.
Jika ditarik ke belakang, Indonesia justru punya stok striker lokal melimpah. Dimulai dari era setelah kemerdekaan atau 1950-an, Ramang menjadi striker tenar yang namanya harum hingga kini.
Dulu, dengan berbekal skema 2-3-5, Ramang menjadi ujung tombak. Ia didampingi Djamiaat Dalhar dan Sian Liong di sisi kiri dan kanan. Sementara di kiri luar dan kanan luar bediri Saari dan Witarsa.
Baca Juga:
- Andre Silva, Rekor Termahal Kedua AC Milan
- Mantan Striker Persib Gagal Selamatkan Timnya di Liga Spanyol
- Striker Baru AC Milan Ini Direkomendasikan Cristiano Ronaldo
Ramang menjadi target man dan goal getter lewat tembakan keras dan kecepatan larinya. Ia melengkapi tugas rekannya, Djamiaat dan Sian Liong, yang lebih fokus bergerak mencari ruang.
Setelah era itu, Indonesia tak berhenti melahirkan striker lokal. Sebut saja beberapa nama tenar, semisal Soetjipto Soentoro, Risdianto, Bambang Nurdiansyah, Ricky Yakob, Bambang Pamungkas, Kurniawan Dwi Yulianto, Rochy Putiray, Widodo C Putro, Ilham Jaya Kesuma, Gendut Doni Christiawan, Budi Sudarsono, Indriyanto Nugroho, Zaenal Arif, hingga Boaz Solossa.
Lalu, pertanyaannya, mengapa kini Indonesia terkesan sulit memiliki striker lokal dengan kualitas mumpuni? Ada beberapa faktor menjawab hal itu.
Pertama, tak lain soal kesempatan bermain. Menurut Bambang Nurdiansyah, ekspektasi tinggi yang dibebankan manajemen klub membuat pelatih tak ingin bereksperimen. Para juru taktik lebih memilih menurunkan pemain asing yang sudah jelas kualitasnya.
Kedua, pria yang akrab disapa Banur itu menjelaskan bagaimana sistem permainan memengaruhi terkikisnya jumlah striker lokal.
“Waktu zaman saya hampir 90% striker di liga merupakan pemain lokal. Striker lokal ketika itu punya kualitas bagus. Sekarang pos striker dimonopoli pemain asing," kata Banur.
"Klub dengan ekspektasi tinggi tentu menginginkan kemenangan. Striker asing dengan kualitas yang sudah terlihat menjadi pilihan dibandingkan pemain lokal."
"Skema permainan juga ikut memengaruhi. Kalau dulu ada pola 3-5-2 atau 4-4-2 yang membuat lini depan diisi dua striker, sekarang lebih memilih memperbanyak gelandang dengan striker tunggal."
"Slot striker itu sudah hampir pasti diisi pemain asing. Kalau dulu dengan kuota dua striker, klub bisa saja memainkan dua striker lokal atau satu penyerang asing dan satu lokal,” ucapnya.
Sistem bermain yang kini banyak menggunakan penyerang tunggal juga membuat tugas striker semakin berat. Dulu, target man identik dengan kelihaiannya menerima umpan silang.
"Slot striker itu sudah hampir pasti diisi pemain asing."
Eks Striker Timnas Indonesia, Bambang Nurdiansyah
Pergerakan mereka hanya di jantung pertahanan lawan. Jika tak berbadan jangkung untuk berduel udara, target man kudu punya kecepatan untuk lepas dari pengawalan bek lawan.
Kini peran tersebut berkembang. Target man harus mampu menahan atau melindungi bola. Sembari menahan bola, ia berpikir untuk melepaskan umpan ke ruang kosong.
Target man punya tugas makin kompleks karena kini juga dituntut bergerak, menggiring bola, mencari ruang.
“Dulu kalau bermain dengan dua striker, misalnya memasang Kurniawan dan Indriyanto. Kurniawan bertugas bergerak untuk mencari ruang dan lebih sering menggiring bola. Sementara Indriyanto sebagai target man, yang menerima umpan silang atau sekadar menjadi tembok," tutur Banur.
"Sekarang dua tugas itu harus diemban si striker tunggal. Transformasi tugas itu yang kini menjadi pekerjaan rumah striker-striker lokal,” ujarnya.
Editor | : | Estu Santoso |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar