Harus diakui, Indonesia berutang banyak kepada Susy Susanti. Lewat prestasinya di dunia bulu tangkis, ia membuat kita bangga menjadi orang Indonesia.
Penulis: Persiana Galih
Selama 13 tahun menjadi pebulu tangkis nasional, ia telah menyumbang lebih dari 88 gelar bagi Indonesia. Gelar terbanyaknya diraih pada 1994, dengan torehan 14 gelar selama setahun.
Nama Susy kerap menjadi penghias rutin halaman depan setiap surat kabar di era 1990-an. Dalam kurun waktu tersebut, ia menjuarai Olimpiade, Piala Dunia, All England, dan sederet serial grand prix.
Namun, semua itu tak dicapai dengan mudah. Berbagai masalah pernah menimpanya, dari alasan sepele sampai alasan gender.
"Saya sangat merasakan, bagaimana waktu itu sektor putri dianggap hal kecil. Saat itu, tunggal putri memang minim prestasi sehingga seperti anak tiri," katanya.
Saat itu, olahragawati Indonesia kala itu tidak menjadi prioritas untuk diberangkatkan menuju kejuaraan-kejuaraan internasional.
Baca Juga:
- Osvaldo Lessa Sebut Lini Sriwijaya FC yang Menjadi Perhatiannya
- Suaran Para Mantan Menyambut HUT Ke-67 PSMS
- Bawa Cavaliers Unggul 3-0 atas Pacers, James Lewati Rekor Kobe
Namun, saat merasa tak dianggap sebagai kaum hawa, ia selalu mengingat dua wanita hebat, ibunya dan R A Kartini.
"Setiap mengingat kedua sosok itu, saya selalu sadar akan emansipasi. Kedudukan wanita mesti disetarakan, salah satu caranya lewat prestasi," tuturnya.
Susy kemudian menunjukkan bahwa sektor putri menjanjikan di level internasional. Ia mulai dilirik untuk menjadi wakil Indonesia di beberapa kejuaraan hingga akhirnya menjadi pebulu tangkis putri terbaik Merah Putih sepanjang masa.
Persaingan Internasional
Setelah performa Susy menggebrak panggung tepok bulu Indonesia, barulah ia dikirimkan ke kejuaraan internasional. Namun, China, Korea Selatan, dan Denmark, sudah lebih dulu mendominasi.
"Ketiga negara itu terlalu kuat. Sulit bagi kami, atlet-atlet Indonesia, menyaingi mereka (kala itu)," katanya.
Salah satu peristiwa bersejarah terkait dominasi itu terjadi pada All England 1990. Waktu itu, Susy baru berusia 19 tahun, tetapi tekadnya sudah sangat besar.
"Bayangkan, kami selalu dikeroyok di setiap pertandingan," katanya. Setahun sebelumnya, ia gagal menjuarai All England karena kalah atas pebulu tangkis China, Li Lingwei.
Tapi pada 1990, akhirnya ia berhasil merusak dominasi China (Huang Hua) lewat dua gim sekaligus 12-11, 11-1.
Aksi Susy dan jajaran pebulu tangkis Indonesia dalam mengusik dominasi ketiga negara itu tampaknya masih terasa hingga saat ini. Menurutnya, saat ini tiap negara punya kualitas yang merata.
"Mungkin persaingan setiap era punya karakternya masing-masing. Yang sama adalah bagaimana kami harus belajar, bertekad, dan berusaha untuk membawa prestasi," tutur dia.
Pada para penerusnya, Susy meminta agar segera mengubah pola pikir. Putri Indonesia, kata dia, kerap minder saat manggung di level internasional.
"Mungkin saat ini prestasi sektor putri bulu tangkis kita lagi belum bagus. Tapi, jangan pandang lawan terlalu besar karena percayalah semuanya bisa kita kalahkan dengan kerja keras," kata perempuan berusia 46 tahun ini.
Pesan itu bukan main-main. Entah kapan lagi Indonesia melahirkan olahragawati sebesar putri asal Tasikmalaya ini.
Susy akhirnya gantung raket pada 1998. Ia ingin fokus dan lebih banyak meluangkan waktu untuk buah hatinya. Namanya terukir abadi dalam sejarah bulu tangkis dunia. Indonesia benar-benar berutang banyak kepada kaum hawa.
Editor | : | Delia Mustikasari |
Sumber | : | Tabloid BOLA No.2.761 |
Komentar