Diego Simeone konon memiliki kebiasaan unik. Setengah jam sebelum sepak mula duel Atletico Madrid digelar, saat anak asuhnya turun lapangan melakukan sesi pemanasan, Simeone duduk di pojok ruang ganti, menelepon rumah.
Penulis: Rizki Indra Sofa
Dia tiga kali menelepon, masing-masing satu kali buat ketiga anaknya. Cuma sebentar, hanya beberapa menit, tetapi ritual itu yang membuatnya mengaku tetap merasa sebagai orang normal.
"Meski hanya empat atau lima menit, saya tetap pria normal," kata pria Argentina itu. Kelar menelepon, ia akan keluar dari luar ruang ganti, menuju tepi lapangan dan balik menjadi Simeone si pemikir ulung dan pelatih Atletico Madrid.
Kalau tidak sedang jadi 'orang normal', kharismanya luar biasa baik itu di dalam maupun luar lapangan, baik itu sebagai pemain, kapten, apalagi sekarang seorang arsitek tim.
Simeone seperti pemimpin spiritual yang segala ucapannya tak cuma didengarkan, tapi dilakukan tanpa bantahan oleh para pengikut dalam hal ini anak asuhnya.
Saat didaulat sebagai bos anyar Los Colchoneros dua hari sebelum Natal 2011, Atletico dalam kondisi darurat. Mereka sudah sembilan kali berganti pelatih dalam delapan tahun.
Baca Juga:
- Solusi Semen Padang untuk Pasangan Duet Marcel Sacramento
- Mauro Icardi Dipaksa Jadi 'Gelandang' oleh Sampdoria
- Inter Perlu Bermain sebagai Tim Selama 95 Menit
Atleti seperti menegaskan stigma el pupas alias terkutuk yang telah melekat selama beberapa dekade.
El pupas adalah julukan yang sebetulnya dimunculkan oleh eks presiden mereka, Vicente Calderon, setelah partai fi nal Piala Champion 1974 melawan Bayern Muenchen.
Atletico kebobolan lewat gol unik tembakan jarak jauh Hans-Georg Schwarzenbeck pada menit ke-120 alias sekitar 42 detik sebelum duel usai!
Gol itu bikin skor menjadi sama kuat 1-1. Partai fi nal ulangan pun digelar dua hari kemudian, Atletico kalah telak 0-4.
Inferioritas Derbi
El pupas, terkutuk, begitu sang eks presidente mengutarakan rasa kekecewaannya. Di era belakangan, alias itu menjadi kental kaitannya dengan ketidakmampuan Atletico menjadi rival sepadan buat tim satu kota, Real Madrid.
Derbi adalah kata-kata tabu buat Atletico. Terhitung sejak 30 Oktober 1999, selama 14 tahun berselang, melewati 25 partai derbi ibu kota, Atletico tak pernah menang dengan 10 pertandingan terakhir berujung kekalahan!
Simeone masih menjadi bagian dari sejarah buruk derbi itu. Tiga derbi pertamanya terasa pahit. Ia kalah 1-4, 0-2, dan 1-2. Toh tren sudah terlihat.
Perlawanan mulai kental, hingga akhirnya momen buat menghapus el pupas muncul di final Copa del Rey edisi 2012/13 di Santiago Bernabeu.
Atletico mengalahkan Madrid 2-1 di rumahnya. Dunia terbalik. Los Colchoneros tidak lagi inferior di derbi, malah superior.
Musim berikutnya, Atleti menang lagi di derbi, dua beruntun dari tak pernah menang dalam 25 partai!
Mentalitas berubah, kepercayaan diri menguat, seiring lenyapnya stigma el pupas di derbi Madrid.
Simeone sadar mereka kalah dari sisi kualitas individual apalagi soal finansial, tapi urusan kekompakan tim rasanya tak ada model lebih baik di Eropa saat ini selain ciri el cholismo model Atletico.
"Stigma el pupas lenyap usai laga final Copa di Bernabeu. Saya tidak yakin Simeone satu-satunya orang yang bisa melakukan itu, tapi dia sudah jelas yang terbaik," ucap kapten, Gabi Fernandez.
Tak mudah melenyapkan stigma el pupas. Simeone melakukannya dengan mengembalikan identitas tim dan rasa saling memiliki dari para pemain.
Hal-hal kecil diperhatikan pria Argentina itu demi mengembalikan dua hal tersebut: identitas diri dan rasa memiliki. Mulai dari jamuan makan malam bersama sampai sesederhana warna jaring gawang yang tidak boleh lagi hitam, tetapi rojiblancos (merah-putih)!
"Rasa memiliki itu penting. Saya merasakannya juga bersama Atleti. Ketika meninggalkan klub (2005) saya tahu suatu saat akan kembali ke sini," tutur Simeone.
Transformasi identitas diri mulai terlihat di atas lapangan. Semangat petarung ialah sesuatu yang hakiki di era Simeone. Atletico kembali ke akar permainan mereka, kombinasi determinasi, daya juang, spirit, komitmen, solidaritas, kompetitif.
Modal itu yang membuat Eropa kini melihat Atletico sebagai rival menakutkan, lawan yang sangat sulit ditaklukkan. Pun dengan rival sekota, Madrid.
Benar aroma derbi belakangan ini kembali menghadirkan trauma el pupas buat Atletico, seiring dua kekalahan di final Liga Champion dan kekalahan 0-3 dalam derbi terakhir Vicente Calderon.
Kendati demikian, Simeone tetap berani menggaransi perlawanan sengit apa pun hasil akhir pertandingannya.
"Pemain bagus tak meningkatkan kualitas tim. Pemain ingin menang yang mengatrol kualitas permainan tim," begitu pesan El Cholo.
"Kami punya identitas yang jelas sebagai sebuah tim. Sepak bola adalah permainan, bisa menang bisa kalah, tapi identitas kami tak pernah berubah. Kolektivitas selalu mengungguli segalanya. Kami dan para fan boleh bangga terhadap Atletico," ucapnya lagi.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA No.2.756 |
Komentar