Fase pahit yang dimaksud sang pelatih tak lain ketika ia pernah tak dibayar saat melatih di sebuah sekolah hingga kemudian harus bekerja sampingan sebagai pengangkut barang di sebuah event organizer. Ricky juga pernah menjadi pengantar siomay pesanan orang lain.
Tapi, ia tak mau menyerah begitu saja. Sembari mengajar dan bekerja sampingan tadi, ia awalnya menyisihkan waktu untuk mengambil lisensi kepelatihan futsal.
“Saya kepincut terjun di dunia futsal karena melihat ada peluang kerja dan bisnisnya, meski saya tahu lisensi saya masih standar. Namun untuk hidup di kota Jakarta kita harus putar otak” ucapnya.
Baca Juga:
- Jadwal Siaran Langsung Olahraga 28 Maret-3 April 2017
- Persib Bandung Jadi Teladan di Stadion Teladan
- Anugerah Kilat bagi Pelatih Termuda Bundesliga
Berbekal lisensi itulah, lelaki yang sempat menjalani sekolah pendeta di Malang selama 8 bulan tersebut masuk ke sekolah-sekolah di Jakarta.
Hingga kemudian ia bergabung dengan Villa 2000 pada tahun 2009.
Dari situ, karier Ricky di dunia kepelatihan semakin jelas. Ia sempat menjadi wakil Asia Tenggara di kursus lisensi C AFC hingga mengikuti program PFA (Profect Future Asia).
Berbekal pengalamannya itu, Ricky bisa leluasa menambah jam terbang kepelatihan di beberapa negara berkat sponsor dari AFC.
“Saya tidak saja belajar teknis dan taktik berlatih dan bermain dalam sepak bola, tapi juga menganalisis, melihat klub, dan segala macam hal yang berkaitan sepak bola.” tuturnya.
Selepas sukses di Piala Presiden 2017, Ricky diyakini bakal menjadi pelatih top. Untuk jangka pendek, lelaki berusia 37 tahun tersebut ingin segera bisa mendapat kepercayaan sebagai komandan di tim Liga 1.
“Musim depan semoga saya bisa memegang klub Liga 1. Untuk itu juga saya akan berangkat ke Singapura pada bulan April demi melanjutkan kursus lisensi A AFC," katanya.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar