Empat Korsel
Mempertegas kekurangpopuleran pelatih lokal, empat klub malah lebih percaya kepada manajer asal Korea Selatan.
Choi Yong-soo menyodorkan curriculum vitae yang menarik Jiangsu Suning. Ia membawa FC Seoul juara Liga Korsel dan Piala FA Korea 2015 plus runner-up Liga Champion Asia 2013. Runner-up tahun lalu, Jiangsu, juga membuat pamor Choi semakin bagus di CSL.
Chang Woe-ryong, yang membawa Chongqing Lifan finis di posisi kedelapan musim lalu, dua kali runner-up K-League dengan dua tim berbeda (Busan Daewoo Royals 1999 dan Incheon United 2005).
Profil Park Tae-ha boleh jadi yang paling rendah. Yanbian Funde mungkin berutang budi kepada eks sayap itu setelah memberikan promosi di akhir 2015. Torehan Park di musim perdananya di CSL terbilang lumayan. Yanbian finis di posisi kesembilan CSL 2016.
Lee Jang-soo boleh jadi yang paling mengesankan. Di tangannya, Seongnam Ilhwa Chunma menjuarai Liga Champion Asia 1995/96 dan Piala Super Asia 1996. Di Korsel, trofinya bertambah dengan Piala Liga 2006 bersama FC Seoul.
Pria berusia 60 tahun ini juga telah mengecap kesuksesan di Negeri Tirai Bambu di sejumlah klub. Chongqing Lifan meraih Piala FA China 2000, begitu juga Qingdao Beilaite pada 2002.
Di bawah arahannya, Guangzhou Evergrande berpromosi ke CSL usai menjuarai League One China 2010. Di musim pertama usai naik divisi, Evergrande menaklukkan CSL.
Setelah memberikan Piala Super China 2012, Lee digantikan Marcello Lippi. Dua tahun berselang, pria asal Gyeongnam ini melatih Chengdu Tiancheng, sebelum Changchun per Januari 2016.
Peringkat ke-12 Changchun musim lalu mungkin membuat kursi Lee semakin panas. Namun, bukan berarti pelatih lokal akan mudah menggantikan posisinya. Pelatih China bak tamu di sepak bolanya sendiri.
Editor | : | Estu Santoso |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.746 |
Komentar