Bila mereka benar-benar mengaplikasikan hasratnya, tentu LSI tahun depan tak seperti LSI 2012-2013, 2013, dan 2014.
Dalam tiga edisi itu, kompetisi Indonesia berjalan tanpa dukungan maksimal dari partner.
Indikatornya adalah tidak ada nama sponsor utama yang dipakai untuk titel LSI, seperti di LSI 2008-2011 dengan label Djarum LSI.
Tak hanya itu, nilai komersial yang akan didapatkan kompetisi pun bisa bertambah melebihi Rp 450 miliar, yang dikabarkan menjadi harga TSC.
Nilai Rp 450 itu saja sudah 2,5 kali lipat dari nilai komersial yang diperoleh LSI 2014.
Semakin besar angkanya, tentu akan berbuntut pada kesejahteraan pemain. Ketika nilai komersial yang didapatkan operator besar, dana yang didapatkan klub akan besar juga.
Bila hal itu terjadi, keuangan klub akan stabil dan penyakit penunggakan gaji pemain, yang belakangan masih sering terdengar, bisa dihapuskan.
"Kalau diminta harapannya untuk musim depan, tentu kami ingin memiliki grafik yang terus meningkat," ucap Joko Driyono, Dirut PT GTS yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PSSI.
"Tetapi, sebenarnya Indonesia masih di klasemen bawah dibandingkan dengan negara Asia Tenggara yang sudah unggul. Thailand mendapatkan dana untuk kompetisinya 3-4 kali lipat lebih banyak daripada kita." tuturnya.
Joko mengakatan jika ingin nilai kompetisi terus meningkat, operator dan klub harus terus berinovasi agar lebih baik lagi.
[video]http://video.kompas.com/e/5265501561001_v1_pjuara[/video]
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar