Ada kesamaan antara Real Madrid di La Liga, Bayern Muenchen di Bundesliga, Feyenoord Rotterdam di Eredivisie, Benfica di Superliga Portugal dengan Tottenham Hotspur di Premier League. Ya, kelimanya menjadi tim yang sama-sama belum menderita kekalahan di kompetisi domestik masing-masing.
Penulis: Sapto Haryo Rajasa
Namun, ada garis tebal yang memisahkan empat tim awal dengan yang disebut terakhir. Jika Madrid, Muenchen, Feyenoord, dan Benfica memimpin klasemen di liganya masing-masing, tidak begitu dengan Tottenham.
The Lilywhites justru terpaku di tangga kelima klasemen sementara Premier League.
Dengan kalimat lain, status tanpa kalah Tottenham menjadi nirmakna apabila tidak dibarengi dengan posisi teratas di klasemen.
Jangankan pucuk pimpinan, Spurs bahkan masih kalah bersaing dalam perebutan satu tempat di zona Liga Champion, yang tiga kali mereka rebut sepanjang tujuh musim terakhir.
“Realitasnya adalah ketika kami mendapatkan peluang di sebuah laga, kami harus lebih mematikan dan lebih sering mencetak gol,” begitu ujar Mauricio Pochettino, pelatih Spurs, seperti dikutip Standard. “Benar bahwa di laga ini, dan beberapa partai terakhir, kami bermasalah dalam aspek ini.”
Dalam rentang 15 hingga 29 Oktober, Tottenham menjalani lima laga di tiga kompetisi berbeda. Tiga di Premier League dan masing-masing satu di Piala Liga dan di Liga Champions.
Rapor mereka?
Empat seri (1-1 melawan West Brom, 0-0 vs Bournemouth, 1-1 vs Leicester, dan 0-0 vs Leverkusen) dan satu kalah (1-2 vs Liverpool).
Agresif
“Ada banyak wajah kecewa di ruang ganti, karena kami lagi-lagi merasa pantas mendapatkan tiga angka. Di laga melawan West Brom, Bournemouth, dan Leicester, seharusnya kami bisa menyabet sembilan poin,” timpal Dele Alli, gelandang serang Spurs yang juga personel Three Lions itu.
Dibandingkan pesaing lain di papan atas, praktis Tottenham tak menjalani transisi sebesar mereka. Status kubu White Hart Lane mungkin mirip Leicester atau Arsenal, yang tak banyak mengubah komposisi skuat.
Namun, baik Leicester maupun Arsenal mampu membagi rata urusan mencetak gol di saat sang andalan utama mengalami paceklik.
Di antara kelompok enam besar, Tottenham mengirimkan wakil paling sedikit ke papan skor: hanya enam pemain.
Sementara itu, Manchester United maupun Manchester City mewakilkan tujuh personel, Chelsea dan Leicester mengirim delapan, sedangkan Arsenal dan Liverpool mengontribusikan sembilan.
“Eriksen memiliki peluang yang lebih banyak untuk mencetak gol saat melawan Leicester. Namun, ia seperti tak punya cukup determinasi untuk melakukannya. Sepak bola tak hanya untuk sebatas dimainkan, tapi juga dimainkan secara agresif,” kata Pochettino lagi.
Mungkin Eriksen mewakili seisi Lilywhites yang tak bisa bermain optimal di saat Harry Kane, mesin gol mereka, tampil tumpul.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.712 |
Komentar