Sejak diakuisisi oleh Qatar Sports Investments (QSI) pada 2011, Paris Saint-Germain (PSG) terbiasa menjalani liga dengan awalan cenderung lambat. Namun, musim ini patut menjadi catatan karena Les Parisiens tampak belum mau berlari meski kompetisi sudah memasuki pekan ke-10.
Penulis: Sem Bagaskara
Jarak PSG dengan pemuncak klasemen melebar menjadi enam angka setelah pasukan arahan Unai Emery cuma berbagi skor 0-0 dalam laga le classique versus Marseille di Parc des Princes, Minggu (23/10).
Sekitar tiga jam sebelum duel le classique digelar, Nice memantapkan posisinya di urutan pertama klasemen Ligue 1 2016-2017 usai menekuk Metz 4-2 di Stade Saint-Symphorien. Tak cuma kian jauh dari Nice, PSG juga mesti rela tempat mereka di posisi kedua klasemen diambil alih Monaco.
Baca juga:
- Edin Dzeko Setara Gabriel Batistuta
- Optimisme soal Kembalinya Lionel Messi ke Newell's Old Boys
- Pejabat Pemerintah Dilarang Pimpin Cabang Olahraga!
Les Parisiens turun satu tingkat ke peringkat ketiga. Dalam hal posisi, prestasi PSG racikan Emery adalah yang terburuk sejak rezim QSI berkuasa.
Sejak 2011-2012, Les Parisiens selalu mampu berada di posisi dua besar ketika liga memasuki pekan ke-10.
"Kami mengalami pasang-surut. Kami tidak konsisten," kata bek kiri PSG, Maxwell, kepada L'Equipe.
Inkonsistensi PSG banyak disebut sebagai efek dari proses adaptasi Emery yang belum paripurna. Ligue 1 2016-2017 merupakan musim pertama ahli strategi Spanyol itu mengarsiteki Les Parisiens.
Akan tetapi, dalih adaptasi tampak kurang pas dipakai Emery mengingat proses penyesuaian sebenarnya juga tengah dilakukan oleh sang kolega yang membesut Nice, Lucien Favre.
Sama seperti Emery, Favre memulai liga dengan kehilangan megabintang.
PSG ditinggal Zlatan Ibrahimovic (ke Manchester United), sementara Favre tak bisa memakai pemain tersubur Les Aiglons (Sang Elang Muda) pada 2015-2016, Hatem Ben Arfa (ke PSG).
Favre juga baru kali ini melatih klub Ligue 1. Terkait adaptasi, untuk sementara, pelatih asal Swiss itu mengungguli Emery.
Kedekatan yang dibangun Favre dengan anak asuhnya disebut menjadi kunci lesatan Nice musim ini.
"Saya tak pernah memiliki pelatih yang banyak berdiskusi dengan setiap pemain. Favre selalu menjelaskan soal keputusannya, contohnya soal pemain pengganti," kata gelandang Nice, ValentinEysseric.
Namun, sebenarnya Emery pantang berkecil hati. Ia masih punya alasan untuk bersikap optimistis.
Bukan musim ini saja PSG dikejutkan oleh tim dengan pelatih debutan Ligue 1. Kejadiannya belum lama, tepatnya pada 2014-2015.
Waktu itu, Marseille, yang dilatih Marcelo Bielsa, mencatat start kencang di Ligue 1.
Marseille menguasai singgasana teratas klasemen pada pekan ke-10 dan surplus tujuh angka dari PSG di posisi kedua.
Sensasi Marseille berlanjut dengan keberhasilan mereka meraih titel juara paruh musim. Namun, PSG bisa bangkit dan merengkuh status kampiun Prancis pada akhir kompetisi.
Kejadian itu bisa dijadikan inspirasi Emery. Tetapi, eks pelatih Sevilla itu juga mesti mengambil pelajaran dari kelihaian Favre membina relasi dengan pemain.
Marco Verratti terlihat geram saat dirinya ditarik keluar dalam laga kontra Marseille.
"Ada apa? Ia (Emery) bilang saya bermain buruk?" kata Verratti menggerutu kepada rekan-rekannya di bangku cadangan.
Sebelum Verratti, Emery diketahui pernah "bermasalah" dengan Ben Arfa, yang musim lalu baik-baik saja saat masih membela Nice.
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar