”Masyarakat di Desa Batur sangat ingin menyaksikan pesepak bola level atas secara langsung,” kata Frida.
”Bila sebelumnya mereka hanya bisa menonton pemain di televisi, kini mendapat kesempatan melihatnya secara lebih dekat. Ini jarang terjadi di desa kami,” tutur Frida.
Menurut Frida, tim peserta memang harus menyertakan pemain profesional, apakah yang pernah bermain di Divisi Utama atau ISL.
Baca juga:
- Laga Diakhiri Bentrok Polisi dan Suporter, PSS Sleman Gagal Menang
- Satu Kaki Andik Vermansah Cs di Final Piala Malaysia 2016
- Lima Calon Rising Star Piala AFF 2016
Hasilnya, kontestan tarkam itu harus menggelontorkan dana sampai Rp 65 juta saat berlaga di turnamen ini. Padahal, hadiah untuk juara turnamen ini hanya Rp 10 juta.
”Kebanggaan dan gengsi bisa mendatangkan pemain top membuat penyandang dana tim tak segan mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Turnamen itu sudah menjadi agenda tahunan di desa kami,” ucapnya.
”Tahun berikutnya, tim harus menyertakan pemain top. Ini menjadi salah satu persyaratan. Bila tidak ada pemain top, tim tidak boleh ikut turnamen,” kata Frida.
Namun, turnamen semacam tarkam ini jadi sumber pemasukan pemain yang terkena sanksi. Anam Syahrul, korban sepak bola gajah, yang absen di turnamen PT Gelora Trisula Semesta (GTS) akhirnya pilih ikut tarkam.
”Saya dan teman-teman yang lain pergi dari satu kota ke kota lain mengikuti tarkam. Sebab, kami sudah tidak bisa bermain lagi di even resmi,” cetus Anam.
”Jadi, kami lebih banyak ikut tarkam. Dari Dieng, kami akan tampil di Tawangmangu,” tutur eks kapten Persijap Jepara itu.
Editor | : | Estu Santoso |
Sumber | : | juara |
Komentar