Periode Kematangan
Chelsea dengan sejuta ekspektasi yang membebani membuat Ranieri cenderung sok tahu kala itu, apalagi dia dijuluki sebagai "The Tinkerman" alias Si Tukang Utakatik.
Ranieri terkenal gemar gonta-ganti pemain sehingga susunan tim inti Chelsea tak pernah sama dari satu pertandingan ke laga lain demi memenuhi ekspektasi tinggi.
Hasilnya Ranieri malah tidak pernah merasakan kebahagiaan dan juara bersama klub megapolitan seperti Chelsea. Ranieri memang berhasil banyak mencetak kemenangan, tapi tetap terjungkal saat The Blues memulai era Roman Abramovich.
Pada Juli 2015 Ranieri kembali ke Inggris untuk menangani Leicester. Hanya, kali ini suasananya telah berbeda. Ranieri hadir dengan kemampuan bahasa, pemahaman kultur tentang sepak bola Inggris, serta pengalaman manajemen yang meningkat.
Leicester seperti memberikan ruang yang cocok buat sang pelatih. Apalagi Leicester bukan seperti Chelsea, Juventus, Roma, atau Monaco, deretan tim besar yang pernah dibesut Ranieri dan memberikan tekanan ekspektasi besar pula.
Dengan suasana yang lebih tenang dan tanpa pemain bintang, Ranieri malah dapat bebas mengerahkan kemampuan manajerial terbaiknya, sehingga membuahkan hasil spektakuler, yaitu mengantarkan Leicester memboyong trofi Premier League pada musim lalu.
Pada sisi lain, Ranieri juga mampu mengangkat potensi pemain. Di tangannya, pemain sekelas Jamie Vardy, Riyad Mahrez, sampai kiper Kasper Schmeichel menjadi pemain populer.
Persis sama ketika dulu Ranieri mengorbitkan Gianfranco Zola dan Gaizka Mendieta semasa menangani Napoli dan Valencia atau John Terry dan Frank Lampard ketika menukangi Chelsea.
Penulis: Dedi Rinaldi
Editor | : | Jalu Wisnu Wirajati |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar