Ada yang spesial pada pelatih Leicester City, Claudio Ranieri, saat menang atas Swansea City di altar Premier League pada Sabtu (27/8/2016). Kemenangan tersebut menjadi koleksi yang ke-100 bagi pelatih berambut putih asal Italia sepanjang karier kepelatihannya di Premier League.
Saat bertemu Swansea, Leicester meraih kemenangan pertama di musim 2016-2017, setelah pada dua laga sebelumnya kalah dari Hull City dan imbang melawan Arsenal.
Ranieri mengoleksi kemenangan ke-100 dengan menukangi dua klub, yaitu Chelsea selama periode 2000-2004 dan Leicester sejak 2015. Catatan ini juga sekaligus menempatkan pelatih berusia 64 tahun itu sebagai manajer kelima dari luar Inggris yang mampu mencapai 100 kemenangan di Premier League.
Dalam daftar sebelumnya tercatat nama Arsene Wenger (Prancis), Rafael Benitez (Spanyol), Gerard Houllier (Prancis), dan Jose Mourinho (Portugal). Sekarang nama Ranieri masuk menambah daftar tersebut.
Tentu Ranieri senang dengan torehan ini. Namun, pada sisi lain dia mencoba merendah.
“Tidak dinyana saya bisa melakukannya. Namun, hasil tersebut bukan karya sendiri. Butuh kerja keras dan kerja sama yang baik dengan pemain,” katanya.
Kerendahan hati dari Ranieri memang tak lepas dari pengalamannya yang panjang dan berliku. Bermula dari kisah sulitnya pada 15 tahun lalu saat pertama kali datang ke Inggris untuk menangani Chelsea.
Saat itu, sepak bola Inggris merupakan lingkungan yang benar-benar baru dan ditambah kemampuan bahasa Inggris Ranieri masih terbatas.
"Pernah tiga atau empat menit sampai akhirnya dia mengatakan sesuatu. Sering kali dia tergantung pada penerjemah sehingga sangat sulit baginya memberikan pengarahan saat jeda," kenang kiper Mark Bosnich, yang sempat dua tahun dilatih Ranieri di Chelsea.
Periode Kematangan
Chelsea dengan sejuta ekspektasi yang membebani membuat Ranieri cenderung sok tahu kala itu, apalagi dia dijuluki sebagai "The Tinkerman" alias Si Tukang Utakatik.
Ranieri terkenal gemar gonta-ganti pemain sehingga susunan tim inti Chelsea tak pernah sama dari satu pertandingan ke laga lain demi memenuhi ekspektasi tinggi.
Hasilnya Ranieri malah tidak pernah merasakan kebahagiaan dan juara bersama klub megapolitan seperti Chelsea. Ranieri memang berhasil banyak mencetak kemenangan, tapi tetap terjungkal saat The Blues memulai era Roman Abramovich.
Pada Juli 2015 Ranieri kembali ke Inggris untuk menangani Leicester. Hanya, kali ini suasananya telah berbeda. Ranieri hadir dengan kemampuan bahasa, pemahaman kultur tentang sepak bola Inggris, serta pengalaman manajemen yang meningkat.
Leicester seperti memberikan ruang yang cocok buat sang pelatih. Apalagi Leicester bukan seperti Chelsea, Juventus, Roma, atau Monaco, deretan tim besar yang pernah dibesut Ranieri dan memberikan tekanan ekspektasi besar pula.
Dengan suasana yang lebih tenang dan tanpa pemain bintang, Ranieri malah dapat bebas mengerahkan kemampuan manajerial terbaiknya, sehingga membuahkan hasil spektakuler, yaitu mengantarkan Leicester memboyong trofi Premier League pada musim lalu.
Pada sisi lain, Ranieri juga mampu mengangkat potensi pemain. Di tangannya, pemain sekelas Jamie Vardy, Riyad Mahrez, sampai kiper Kasper Schmeichel menjadi pemain populer.
Persis sama ketika dulu Ranieri mengorbitkan Gianfranco Zola dan Gaizka Mendieta semasa menangani Napoli dan Valencia atau John Terry dan Frank Lampard ketika menukangi Chelsea.
Penulis: Dedi Rinaldi
Editor | : | Jalu Wisnu Wirajati |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar