Ketika empat pelatih membutuhkan sembilan musim guna memberikan satu gelar Piala Liga dan sepasang penampilan di final bagi Liverpool FC, Juergen Klopp menapak dua laga puncak hanya dalam tujuh bulan.
Penulis: Sapto Haryo Rajasa
Mustahil jika tak ada yang istimewa dari sosok Juergen Klopp. Meski ujung-ujungnya harus menelan kekalahan di kedua final tersebut, tanpa campur tangannya, Liverpool mungkin sudah terdepak di tengah jalan.
Dalam kurun tujuh bulan sejak menggantikan kursi Brendan Rodgers, Klopp berhasil menanamkan aspek kegigihan, daya juang, dan intensitas.
Tiga faktor utama itu yang dibutuhkan klub di saat moral skuatnya tengah runyam.
Dengan modal ini, Liverpool diubah menjadi tim yang bisa memberikan letupan-letupan di tengah laga.
Juga menjadi tim yang tak dibiarkan dengan mudah mendapatkan tekanan dari lawan-lawannya.
Di Liverpool, terlihat benar aroma gegenpressing, yang selama ini identik dengan Borussia Dortmund. Bahkan, masih terasa tekanan tanpa henti The Anfield Gank ketika meladeni Sevilla FC di final Liga Europa (18/5/2016).
Strategi menekan dari segala arah itu pun berbuah gol Daniel Sturridge dan beberapa peluang emas lain di muka gawang Los Nervionenses.
Apa daya, penyakit lama Liverpool kambuh begitu laga menginjak babak kedua.
“Adalah bencana untuk kemasukan gol di menit pertama seusai jeda. Namun, kami masih memiliki 44 menit untuk membalasnya. Reaksi tim yang menjadi masalah. Kami jelas harus bereaksi lebih baik dalam situasi seperti itu,” ujar Klopp di Sky Sports.
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | BOLA Sabtu No.29 |
Komentar