CEO Vision of Superior, Yudhi Setiawai, mengatakan bahwa produk lokal sebenarnya sudah mampu bersaing dengan merek asing.
“Yang menjadi tantangan adalah kepercayaan dan daya beli masyarakat. Soal teknologi kami juga sudah terapkan. Buktinya, pabrikan kami sudah mendapatkan lisensi dari Adidas, artinya kami bisa memproduksi barang-barang Adidas,” kata Yudhi, yang biasa disapa Jeck itu.
“Kami menjual citra rasa lokal. Bicara kualitas pun tak kalah. Kami selalu mencoba setara dengan merek asing,” ujar Arif Wirawan, CEO Specs.
Apa yang membuat klub tertarik menggunakan apparel lokal?
Syarifudin Ardasa (asisten manajer Barito Putera), Achsanul Qosasih (pemilik Madura United), dan Sudarmaji (media officer Arema), memiliki alasan serupa soal kepercayaan dengan merek lokal.
“Kami ingin membangun kemitraan dengan produsen lokal. Selain kualitas bahan yang tak kalah bagus, kami bisa memesan desain sendiri sesuai karakter tim,” kata Syarifudin.
“Hal yang utama adalah ikut membantu branding produk lokal. Produk MBB tak kalah meriah saat ini. Terbukti dari survei kostum favorit, Madura United masuk 5 besar,” ucap Achsanul.
“Produk lokal bisa bersaing. Sejak Arema memilih Specs, kami mendapatkan respons positif,” tutur Sudarmaji.
Ada Apa dengan Bali United dan PS TNI?
Dua tim itu sama-sama tidak menyertakan merek apparel di kostum mereka.
“Kami sudah memiliki merchandise store. Kami ingin membesarkan brand sendiri,” ukar Katrine Wianna, staf pemasaran Bali United.
Tujuan yang sama sebenarnya dimiliki manajemen Surabaya United.
“Kostum Surabaya United kami yang memproduksi. Tapi, tidak dalam status sponsor apparel. Mereka memakai merek sendiri, yaitu GW singkatan dari Gede Widiade (CEO klub). PS TNI juga kami yang produksi, tapi tanpa merek apparel,” kata Jeck.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.664 |
Komentar