Kehadiran sosok penentu hidup-mati tim bukan hal asing di sepak bola Indonesia. Masih banyak syahril-syahril lain di Tanah Air.
Sugar daddy, begitu orang Barat menyebut mereka. Istilah ini aslinya merujuk pada lelaki yang memberi bantuan, biasanya berbentuk finansial dan material, kepada perempuan muda.
Dalam konteks sepak bola, sugar daddy merujuk pada sosok yang siap menggelontorkan fulus dari kocek pribadi untuk membesarkan klub.
Iwan Budianto, misalnya, kerap mengeluarkan uang pribadi untuk keperluan Arema, terutama di masa-masa Singo Edan kesulitan mendapatkan sponsor.
"Dulu pengeluaran pribadi saya bisa mencapai 50 persen, sekarang mungkin maksimal 20 persen dari kebutuhan tim setiap musim," ucapnya.
Idham Samawi juga pernah menjalankan peran serupa.
Saat menjadi Ketua Umum PSIM, Idham pernah melepas tanah seluas 3.000 meter persegi miliknya, dua rumah yang masing-masing berharga 600 juta, dan perhiasan istri demi mencukupi kebutuhan tim.
Ketika itu, pemda hanya memberi subsidi sebesar 20 juta rupiah.
Bergeser ke era kekinian, penikmat bal-balan nasional tentu familiar dengan Nabil Husein.
Anak dari pengusaha batubara Said Amin ini membeli PBFC di awal 2014 dan terus membiayai Pesut Etam dengan uang pribadi hingga sekarang.
Jangan lupakan keberadaan Achsanul Qosasi sebagai tokoh di balik kebangkitan Madura United. Orang inilah yang berperan besar mendatangkan pemain-pemain bernama besar seperti Fabiano Beltrame, Toni Mossi, Bayu Gatra, hingga Gerald Pangkali.
Saat ditanyai sudah berapa banyak fulus yang mengalir dari koceknya, Achsanul tak bersedia menyebut angka.
"Kalau dasarnya mungkin karena cinta bola, kalau sudah bicara cinta atau kesenangan, tidak dapat dinilai dengan uang. Uang sudah tidak bisa menjadi ukuran lagi," tuturnya.
"Kalau soal nominal yang saya keluarkan, saya tidak bisa ungkap. Selain uang pribadi, ada saja kolega yang membantu berinvestasi," lanjutnya.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.663 |
Komentar