Ketika Roma mengalami kemunduran, Rudi Garcia berada di bawah mikroskop media dan fan garis keras. Gerak-geriknya tak lepas dari sorotan. Ia kembali disebut sebagai pelatih tanpa rencana cadangan.
Garcia tampak bersikeras mengedepankan pola 4-3-3. Padahal, metode itu sudah bisa dibaca lawan dalam beberapa kesempatan. Roma bukan tidak melakoni perubahan sistem.
Namun, variasi formasi tidak disertai perombakan berarti dalam permainan. Ambil contoh kala Roma memainkan 4-2-3-1 sebagai pedoman sebelas awal saat ditahan Bologna 2-2 (21/11/2015).
Pola serangan I Lupi seperti sudah memiliki cetakan yang khas. Mereka kerap memaksimalkan tenaga penyerang sayap lincah untuk menusuk atau menyuplai bola untuk si penyerang tengah, atau mengandalkan pasokan dari full-back yang ikut bertugas ofensif.
Kritik muncul karena pola yang sama tetap dipakai kendati muncul kekurangan dalam berbagai titik.
Akibatnya, alur serangan pun mandek ketika kinerja para inisiator seperti Mohamed Salah atau Gervinho menurun. Tak ada alternatif berarti.
Dalam situasi tersebut, suplai buat sang bomber utama, Edin Dzeko, ikut terhambat. Ia seperti terisolasi di depan.
[video]http://video.kompas.com/e/4659786361001_ackom_pballball[/video]
Karena sistem lewat permainan terbuka tidak berjalan semestinya, wajar bila eksekusi bola mati menjadi sumber gol andalan Roma. Musim ini, I Giallorossi mencetak sembilan gol lewat situasi set piece, terbanyak di liga, dan tiga dari penalti.
Selain sistem yang monoton, kritik buat personel Roma juga didasari kurangnya semangat juang tim.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.645 |
Komentar