Jalan hidup Roberto Firmino (24) serupa dengan kisah klasik pemuda Brasil pada umumnya. Mereka mencari harapan dari sepak bola.
Firmino lahir dari keluarga miskin. Sang ayah, Jose Roberto, merupakan penjual minuman dalam gerobak di sekitar konser atau festival. Sang ibu, Maria Cicera, fokus mengurus Roberto kecil dan sang adik perempuan.
Firmino tumbuh di Kota Maceio. Kota itu memiliki pantai indah, namun menurut Firmino punya kultur kekerasan antargeng.
Demi mewujudkan mimpinya menjadi pesepak bola top, ia memutuskan pergi dari klub setempat, Club de Regatas Brasil (CRB), menuju jauh ke selatan ke Kota Florianopolis, tempat Figueirense bermarkas, di usia 16 tahun.
"Sangat sulit buat meninggalkan keluarga. Ibu bahkan menangis setiap hari selama setahun. Itulah hidup. Anda harus berani mengejar mimpi, dan untungnya, di sinilah saya berada," kata Firmino dalam wawancaranya dengan The Telegraph.
[video]http://video.kompas.com/e/4655124569001_ackom_pballball[/video]
Ia bermain selama 1,5 tahun di Serie B Brasil, sebelum akhirnya promosi. Pada 2010. ia lantas pergi ke Jerman guna memperkuat Hoffenheim. Perjuangan dan pengorbanan itu tak berhenti saat membuat keputusan pergi ke Jerman.
Di negeri asal Mercedez Benz, BMW, Audi dan sejumlah mobil top lainnya itu, ia juga harus berhadapan dengan kultur, bahasa, serta iklim yang baru, dan juga level kompetisi yang jauh lebih ketat.
Baca Juga: Klopp dan Firmino Silang Pendapat soal Peran Striker 'Siluman'
"Saya pasti berangkat. Itulah hal yang ada di kepala ketika tawaran Hoffenheim datang. Saya tak pernah takut. Saya selalu berani membuat keputusan. Saya tahu akan menghadapi banyak hal baru. Namun, saya pergi sebagai guerreiro (pejuang) dan siap menghadapi tantangan," ucapnya.
Bakat Firmino kecil di bidang sepak bola sebetulnya sempat mendapat pertentangan dari kedua orang tuanya.
Jose Roberto dan Maria Cicera ingin sang anak menjadi sarjana agar jalan hidup Firmino berbeda dengan mereka.
[video]http://video.kompas.com/e/4650642533001_ackom_pballball[/video]
Pasangan ini sadar bahwa persaingan menuju sepak bola profesional sangat ketat sehingga kesempatan sukses pun terbatas.
Namun, mereka lupa bahwa Firmino punya determinasi dan ambisi yang sangat besar.
"Ketika saya kecil, kadang ayah dan ibu berpikir agar saya tidak bermain bola. Mereka ingin saya belajar. Saya bahkan dikunci di rumah buat belajar, tetapi saya punya akal buat melompat tembok di belakang rumah demi bisa bermain bola," ucap Firmino lagi.
"Saya berterima kasih atas pengalaman itu. Ibu selalu mengingat masa-masa itu. Bahkan kadang ibu merasa bersalah. Namun, saya katakan, 'Tindakan ibu bertujuan baik', agar ia tak sedih," kata sang gelandang serang.
Penulis: Anggun Pratama
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA 2.644 |
Komentar