Tak banyak pesepak bola yang terjangkit HIV berani bicara terbuka. Satu dari sedikit orang itu adalah mantan pemain tim nasional Kenya, Wanyama Nelson.
Wanyama mengenal sepak bola dari keluarganya. Sejak usia 12 tahun, dia mulai menendang si kulit bundar di kampung halamannya di Eldoret, Kenya bagian barat.
Melalui sepak bola pula, Wanyama memupuk harapan untuk lepas dari kemiskinan. Dia mendapatkan panggilan dari tim nasional pada usia 20.
"Saya menjadi pria muda dengan banyak uang. Dengan sepak bola, Anda menerima bayaran dan tidak akan merasa lapar," kata Wanyama.
"Saya hidup berpindah dari kota ke kota," tuturnya.
Kehidupan berpindah-pindah turut mengubah Wanyama. Dia berhubungan seks dengan wanita di setiap kota yang dikunjungi, tetapi tidak pernah menggunakan pelindung.
Berbekal status selebriti, Wanyama muda mendapatkan wanita yang disukainya. Pada 1995, dia menikah dengan wanita bernama Rose. Saat itu, Wanyama masih berusia 22 tahun.
"Dahulu, saya sering pergi menari, minum, dan bertemu dengan dia di lantai dansa," kata Wanyama.
Pasangan ini hidup bahagia. Setelah menikah, mereka dikaruniai anak kembar laki-laki, Brian dan Bernard.
Kematian Rose
Oktober 1996 menjadi ujian berat untuk Wanyama. Rose terjangkit virus HIV. Ketika itu, HIV masih menjadi stigma di Kenya.
Rose sudah di bawa ke berbagai rumah sakit, tetapi tidak pernah diperlakukan dengan baik. Delapan tahun berselang, Rose pun meninggal.
"Dokter hanya memberi tahu bahwa penyakit itu HIV. Saya juga tak mencari tahu hingga akhirnya benar-benar kehilangan dia," ujar Wanyama.
Enam bulan setelah kematian Rose, Wanyama diminta ibunya untuk menjalani pemeriksaan. Serupa Rose, Wanyama didiagnosis terjangkit HIV.
"Setelah didagnosis, saya menyadari telah membunuh istri saya. Saya juga telah menularkan penyakit ini kepada dia," katanya.
Fakta tersebut membuat Wanyama frustrasi. Karena HIV/AIDS masih menjadi stigma ketika itu, dia juga kesulitan bercerita kepada orang lain.
Akan tetapi, berkat dorongan ibunya, Wanyama memberanikan diri untuk terbuka kepada Brian dan Bernard.
"Anak-anak mengatakan kepada saya supaya tidak merasa bersalah," tuturnya.
Reaksi dari Brian dan Bernard memberikan dorongan besar untuk Wanyama. Dia berhasrat meredam stigma yang ada di Kenya.
"Begitu banyak orang menyembunyikan penyakit ini, padahal itu berbahaya. Infeksi mungkin saja menyebar," ujar Wanyama.
"Ini bukan penyakit pembunuh. Ketika saya bicara secara terbuka, ada perubahan positif dari orang-orang," tuturnya.
Hingga akhirnya, Wanyama memutuskan bekerja di Tackle Afrika, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memberikan pendidikan HIV melalui sepak bola.
Hidupnya sudah jauh dari kata glamor, tetapi tetap bahagia. Pada 2006, Wanyama menikah lagi dengan wanita bernama Mwainadi. Keduanya menghasilkan seorang anak yang diberi nama Rooney.
Editor | : | |
Sumber | : | Berbagai sumber |
Komentar