Hari Olah Raga Nasional (Haornas) yang ke-32 seharusnya menjadi momen berharga mengembalikan kejayaan olah raga Indonesia.
Rentetan prestasi yang menurun dalam 10 tahun terakhir menjadi tanda bahwa olah raga nasional membutuhkan pembenahan secara keseluruhan. Akan tetapi, pembenahan itu memerlukan campur tangan yang sangat besar dari pemerintah. Bagaimana pemerintah menilai momen Haornas 2015? Bagaimana tanggapan pelaku olah raga? Berikut penuturan Menpora Imam Nahrawi dan Ketua Umum PB PODSI yang juga mantan Ketua Program Atlet Andalan Achmad Sutjipto kepada wartawan Harian BOLA, Oka Akhsan dan Roosyudhi Priyanto.
Imam Nahrawi
Olah raga menjadi priotitas penting bagi kebijakan nasional. Apalagi Presiden RI Joko Widodo sudah mencanangkan agar kita mempersiapkan diri menyambut Asian Games 2018.
Artinya, tak mungkin lepas sebuah kebijakan besar tanpa melibatkan olah raga, baik dari segi pembinaan, prestasi, industri, sampai untuk masa depan. Hal itu menunjukkan betapa pentingnya olah raga sehingga menjadi perhatian yang amat serius bagi pemerintah saat ini.
Haornas menjadi momen penting bagi kita sebagai tonggak kebangkitan untuk meningkatkan prestasi olah raga Indonesia yang belakangan trennya mulai menurun.
Ada tiga faktor yang mesti diperhatikan untuk menempatkan Indonesia dalam ranking bergengsi di ajang olah raga internasional.
Pertama adalah soal regulasi yang memayungi olah raga nasional. Harus ada kebijakan yang jelas dan konkret antara prestasi, pendidikan, rekreasi, dan bentuk-bentuk olah raga kemasyarakatan yang lain.
Regulasi olah raga harus ada re-focusing sehingga nantinya benar-benar mengakomodasi dan menggambarkan realita yang ada.
Yang kedua adalah membenahi organisasi olah raga. Organisasi olah raga harus betul-betul rapi.
Tak boleh lagi ada konflik, dualisme, dan lain sebagainya. Karena segala macam konflik struktural itu bakal berimbas pada pembinaan dan ujung-ujungnya prestasi. Menurut saya, 2016 menjadi tahun yang tepat untuk melakukannya.
Haornas menjadi momen penting bagi kita sebagai tonggak kebangkitan untuk meningkatkan prestasi olah raga Indonesia yang belakangan trennya mulai menurun.
Ketiga adalah memberikan jaminan bagi atlet. Kami sudah mencanangkan memberikan penghargaan berupa honor atau gaji bulanan kepada atlet peraih medali Olimpiade hingga meninggal dunia.
Hal ini penting untuk memberikan keyakinan kepada generasi muda agar mereka mau menjadi atlet.
Menjadi atlet itu bukan lagi pilihan terakhir, tapi yang pertama. Atlet bisa menjadi profesi yang masa depannya terjamin.
Selama ini, atlet cuma mendapatkan harapan semu. Padahal, mereka sudah menorehkan prestasi yang memberikan kebanggaan buat diri sendiri, keluarga, dan bangsa Indonesia. Karena itu, atlet harus mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah.
Tahun depan kita akan menghadapi sebuah ajang besar, yaitu Olimpiade 2016. Kami tak main-main dalam mempersiapkan diri. Dari sisi anggaran, untuk tahun ini saja kami sudah menyiapkan sekitar 600 miliar rupiah. Belum tahun depan.
Sekarang tinggal bagaimana Satlak Prima sebagai kepanjangan tangan pemerintah bekerja dengan serius. Mereka harus melakukan koordinasi dengan baik bersama pengurus cabang. Target pun harus realistis. Artinya, mereka tak cuma menerima laporan dari PB-PB, tapi juga bergerak aktif meningkatkan target tersebut.
Untuk cabang, kami hanya akan fokus kepada cabang yang berpotensi mengembalikan tradisi emas Indonesia di Olimpiade, seperti bulu tangkis, angkat besi, dan panahan.
Pilihan yang sulit karena cabang lain pasti akan protes. Namun, itulah konsekuensi yang harus diambil. Kita mesti tegas dan tak boleh memberikan ruang kepada cabang yang hanya sekadar ingin terlibat.
Soal dana pelatnas yang sering terlambat, kami akan berusaha agar hak atlet bisa diterima dengan cepat. Yang terpenting prosesnya transparan dan akuntabel.
Pada perayaan Haornas ini, kami menyatakan siap bekerja untuk menyongsong Olimpiade 2016, SEA Games 2017, dan Asian Games 2018.
Haornas ini mengambil tema Menggelorakan Budaya Olah Raga Menuju Indonesia Hebat.
Prestasi itu lahir dari pembinaan dan kompetisi yang sehat serta didukung lingkungan yang memungkinkan siapa saja terlibat dalam olah raga.
Karena itu, pembudayaan dan menggelorakan olah raga sangat penting agar muncul bibit-bibit unggul di semua cabang yang kemudian disaring untuk menjadi atlet elite dan berprestasi.
Olah raga merupakan fondasi revolusi mental. Mengapa demikian? Karena di dalamnya diajarkan nilai-nilai kehidupan seperti disiplin, sportivitas, kejujuran, ketegasan, dan kemandirian.
Achmad Sutjipto
Tak ada trik magis dalam pembinaan olah raga. Butuh kesabaran karena ada proses yang harus dilalui.
Kita harus punya strategic planning. Tak bisa mengharapkan keberhasilan sekali pukul, harus dicicil. Hal ini bisa dilakukan dengan road map, sistem serta struktur pengelolaan yang baik.
Satu kelemahan kita adalah kita banyak mengacu pada negara-negara sukses olah raga, tetapi belum merancang sistem yang paling cocok untuk kita sendiri.
Atlet harus menjadi fokus dalam pembinaan karena mereka adalah aset utama. Hal ini dimulai dari pencarian talenta.
Rekrutmen atlet muda harus sportif dan benar-benar memilih potensi yang memang bisa dikembangkan. Pemerintah harus membentuk badan khusus untuk penjaringan potensi di usia 12-14 tahun karena mereka adalah feeder atlet-atlet Prima delapan tahun kedepan.
Siswa di PPLP atau sekolah untuk atlet harus dipindahkan jika memang potensi mereka susah buat berkembang. Harus digantikan dengan atlet muda yang lebih memiliki potensi.
Penjaringan atlet dari awal harus jujur berdasarkan kriteria jelas, bukan suka atau tidak suka, atau atlet titipan. Atlet yang dijaring harus memiliki potensi untuk dikembangkan meraih prestasi internasional, bukan hanya berjaya di tingkat Pekan Olah Raga Nasional.
Saya berharap di indukinduk organisasi olah raga nanti juga ada prima-prima kecil. High Performance Program pada tingkatan tertentu harus diserahkan pada mereka. Untuk itu, PB-PB harus dikuatkan.
Fokus pada atlet menjadi syarat utama. Kita harus petakan kekuatan dan cari atlet terbaik.
Gerakan buat pelatih pun harus dilakukan, sebab mereka adalah pemimpin yang mengarahkan atlet menuju prestasi terbaiknya. Sports science (iptek olah raga) juga menjadi hal mutlak. Ilmu kepelatihan berkembang amat pesat, atlet tak bisa lagi ditangani hanya oleh seorang pelatih.
Penjaringan atlet dari awal harus jujur berdasarkan kriteria jelas, bukan suka atau tidak suka, atau atlet titipan. Atlet yang dijaring harus memiliki potensi untuk dikembangkan meraih prestasi internasional, bukan hanya berjaya di tingkat Pekan Olah Raga Nasional.
Harus ada tim penguatan prestasi, membantu setiap atlet mengembangkan diri sesuai kebutuhan dan kekuatan mereka masing-masing.
Hal tak kalah penting adalah stabilitas anggaran. Perencanaan harus matang, jumlah anggaran serta waktu harus tepat, begitu pula pertanggungjawaban.
Diperlukan iklim kebijakan. Saya yakin pemerintah juga memerhatikan soal ini. Terbukti dengan permintaan mereka untuk tidak takut menggunakan anggaran bagi setiap pimpinan daerah. Hal sama bisa dilakukan pada dunia olah raga kita.
Terakhir, tapi tak kalah penting, adalah high performance environment atau lingkungan keunggulan yang bisa menanamkan optimisme dan kerja sama kepada para atlet.
Kuncinya adalah aturan. We are playing by the rules (kita semua ditentukan oleh aturan), karena itu kita harus berjalan seusai aturan, bukan power play atau berlandaskan kekuasaan. Setiap aturan harus rinci, berdasarkan nilai-nilai keolahragaan sejati, sportivitas. Kepemimpinan tak boleh otoriter.
Penulis: Oka Akhsan dan Roosyudhi Priyanto.
Editor | : | |
Sumber | : | Harian BOLA 9 September 2015 |
Komentar