hal ganjil sering terdengar berkaitan dengan sepak bola. Berikut adalah kisah beberapa kutukan populer di industri bal-balan.
Kutukan Dukun Zimbabwe
Mitos kutukan ini berkaitan dengan tim nasional Australia dan kegagalan mereka melaju ke putaran final Piala Dunia sepanjang periode 1978-2002.
Cerita bermula pada 1969, ketika tim Australia mencoba lolos ke PD Meksiko 1970. Di babak kualifikasi zona Asia dan Oseania, Australia harus menghadapi laga play-off melawan Rhodesia (sekarang Zimbabwe) di Mozambik. Situasi tak menguntungkan buat Australia.
Para pemain dan staf kemudian mendengar seorang dukun lokal yang bisa menjadi solusi masalah dengan mengutuk tim lawan. Sang dukun kemudian menanam tulang dekat tiang gawang dan mengutuk Rhodesia. Keesokan harinya, Australia bisa menang 3-1!
Sang dukun meminta uang 3.000 ribu pound atas jasanya, tapi para pemain tak punya cukup uang. Si dukun memperingatkan ia bakal mengutuk tim Australia. Para pemain lantas pulang kembali ke negerinya tanpa membayar dan benar saja, nasib buruk selalu menghantui.
Mereka gagal lolos ke PD 1970. Mereka lolos ke PD Jerman 1974, tapi hancur lebur, kalah dua kali dan sekali seri dari tiga laga fase grup, tanpa mencetak gol. Setelah itu mereka absen dari putaran final PD selama 32 tahun.
Pada kualifikasi PD 1994, 1998, dan 2002, mereka hampir lolos dan hanya gagal setelah kalah di leg II play-off interkontinental, baik itu lewat adu penalti atau aturan gol tandang!
Para mantan pemain meyakini mereka benar dikutuk. Salah satunya mendiang gelandang Socceroos, Johnny Warren (1965-74), yang tutup usia pada November 2004 dan juga menuturkan kisah tersebut di otobiografinya berjudul Sheilas, Wogs And Poofters terbitan 2002. Warren salah satu pemain yang menemui sang dukun.
“Nasib sial selalu hinggap di laga vital. Tiap kali ada kegagalan besar, saya selalu memikirkan kisah Mozambik dulu. Mungkin ada baiknya Australia mengirim orang kembali ke Mozambik membawa uang dan menemui dukun itu, memintanya mengangkat kutukan,” tulis Warren di bukunya.
Editor | : | Rizki Indra Sofa |
Sumber | : | Guardian |
Komentar