19.
Keperkasaan ini menular ke level klub. Jerman menjadi satu-satunya negara yang meloloskan empat wakilnya di fase grup Liga Champion 2014/15, yakni Leverkusen, Schalke, Dortmund, dan Muenchen. Dua klub yang disebut belakangan sukses menciptakan all-german final di edisi 2012/13.
"Saat ini kami berada di titik tertinggi dan sulit untuk bisa lebih baik dibanding sekarang," kata Robin Dutt, Direktur Olah Raga Asosiasi Sepak Bola Jerman pada 2012-13.
Kesuksesan ini tak lepas dari pembenahan besar-besaran usai Der Panzer hanya menjadi juru kunci Grup A di Euro 2000. Sejumlah faktor kemudian disebut berperan penting dalam kebangkitan Jerman di lapangan hijau, mulai dari perubahan filosofi permainan yang tak lagi mengandalkan "mental juara bak mesin diesel" hingga fokus luar biasa pada pembinaan usia dini.
Sebenarnya, ada satu faktor lagi yang kerap lolos dari sorotan. Otoritas sepak bola Jerman merangkul perbedaan kultur di negaranya dan mentransformasikan hal tersebut menjadi kekuatan hebat.
Tingginya jumlah imigran membuat Jerman sangat multikultural. Data pada 2012 menunjukkan bahwa sekitar 20 persen (sekitar 16,3 juta) penduduk Jerman punya latar belakang imigran. Kaum pendatang terutama berasal dari Turkii (3,7%), Polandia (1,9%), Rusia (1,5%), dan Italia (0,9%). Berkat perubahan dalam UU Kependudukan pada 2000 membuat banyak dari mereka yang kini berpaspor Jerman.
Federasi sepak bola Jerman (DFB) melihat potensi luar biasa dalam kelompok etnis itu. Pusat pelatihan sepak bola dan kompetisi pun lantas dirancang sedemikian rupa untuk menjangkau anak-anak dengan latar belakang imigran tersebut.
Cara Jerman merangkul perbedaan kultur itulah yang membuat Nationalmannschaft kini lebih berwarna. Multi-culti, begitu biasanya media menyebut timnas Jerman sekarang. Sami Khedira misalnya, mewarisi garis keturunan Tunisia dari ayahnya, dalam tubuh Mesut Oezil mengalir darah Turki, ayah Jerome Boateng merupakan orang Ghana, Dennis Aogo merupakan keturunan Nigeria, sementara Marko Marin lahir di Bosnia.
Kondisi serupa terlihat di level junior. Skuat besutan Marcus Sorg di Euro U-19 beberapa bulan silam diisi oleh pemain seperti Kevin Akpoguma (Nigeria), Hany Mukhtar (Sudan), dan Levin Oztunali (Turki). Sebelumnya, timnas junior juga diperkuat oleh Bienvenue Basala-Mazana (Kongo), Shkodran Mustafi (Albania), Yunus Malli (Turki), dan Reinholdt Yabo (Ghana) saat menjuara Euro U-17 pada 2009.
"Kami sadar bahwa keberadaan pemain Turki, Ghana, Nigeria, atau Tunisia merupakan hal baru di timnas Jerman. Tapi, buat generasi kami, hal itu sangat normal. Ada beberapa Khedira dan sebagian lagi bernama Mueller. Kami tidak tahu yang selain ini," tutur Khedira.
Jerman diuntungkan karena pemain-pemain 'asing' tadi memberi aroma baru dalam permainan tim. Dengan bek tangguh nan elegan dari Albania dan Turki (Mustafi serta Serdar Tasco), bek sayap Nigeria dan Ghana (Aogo serta Boateng), winger Bosnia atau Maroko (Marin atau Karim Bellarabi), gelandang bertahan Tunisia (Khedira), playmaker Turki (Oezil), penyerang sayap Nigeria (Sydney Sam), hingga bomber tengah Polandia atau Spanyol (Lukas Podolski/Mario Gomez), stereotipe Der Panzer sebagai tim diesel sudah menjadi kisah usang.
"Percampuran antara kekuatan fisik Afrika dengan pemahaman taktik eropa sangatlah berguna bagi timnas Jerman," tutur Aogo soal sumbangsih etnis minoritas bagi Die Mannschaft.
"Di depan, kami punya sedikit aroma Latin atau gaya yang lebih santai dan mengalir khas negara-negara Eropa Selatan. Tapi, di sektor pertahanan, kami sangat disiplin, sangat Jerman," kata Khedira. "Yang penting, kami adalah satu tim. Kami semua ingin sukses, tak perduli dari mana kami berasal," tambahnya.
Cerita lebih lengkap ada di Majalah BOLA Vaganza edisi Januari 2015.
Editor | : | Andrew Sihombing |
Sumber | : | BOLA |
Komentar