Perintah Presiden itu dituangkan dalam rencana yang dinamai Rencana 10 Tahun Olahraga. Pada tahun 1964 Rencana 10 Tahun Olahraga ditetapkan oleh BAPPENAS sebagai Proyek Mandataris, dan pada tahun 1965 ditetapkan oleh MPRS sebagai Program Nasional sebagai bagian dari Ketetapan MPRS No. VI/MPRS/1965 mengenai Pola Ekonomi Perjuangan (Banting Stir di Atas Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi Pembangunan).
Rencana 10 Tahun Olahraga itu menandai satu tingkatan baru dalam Revolusi Olahraga Indonesia. Rencana 10 Tahun Olahraga melengkapi diri dengan 5 Program Dasar, yakni mempertinggi potensi fisik nasional (Gerakan Massal Olahraga), memperluas dan mengintensifkan gerakan olahraga di lingkungan pemuda/pelajar, membina Olahragawan-olahragawan yang potensial dan berbakat untuk mencapai prestasi tinggi, menyediakan kelengkapan-kelengkapan materiil dan spirituil untuk penyelenggaraan olahraga, konsolidasi Ganefo I dan Penggeloraan Gerakan Ganefo.
Menurut Siregar (2008) apa yang dilakukan Presiden Soekarno adalah sesuatu yang nyata, tidak sekadar jargon atau slogan.“Itu jelas karya yang hebat. Itu budaya olahraga. Bangsa lain tidak punya. Tapi di tahun 2008 olahraga begini-begini saja, itu mengenaskan sekali. Ketika itu Bung Karno masuk Top 10 Dunia maka ia canangkan olahraga di usia dini.Sekarang sudah 2008, namun apa infra struktur yang tersedia untuk pembangunan olahraga usia dini? Menurut saya kemajuannya nol.” [Sumber: Wawancara dengan teknokrat olahraga Indonesia, M.F. Siregar pada periode Maret dan April 2008 di Wisma Karsa Pemuda, Senayan, Jakarta.]
Departemen Olahraga (Depora) yang merupakan amanat presiden (Kepres No.131/1962) terus disempurnakan sampai Kabinet Dwikora yang Disempurnakan lagi (14 Maret 1966). Saat itu Program 10 Tahun Olahraga dilaksanakan secara konsisten di sekolah. Pelajar mengikuti 3 jam seminggu untuk olahraga wajib, dan 3 jam untuk olahraga karya. Pada olahraga karya, dua jam digunakan untuk berlatih dan satu jam dipakai bertanding antar siswa dalam satu sekolah. Pada penyempurnaan Kabinet Dwikora, Departemen Olahraga ada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan menteri koordinator Prof. Dr. Prijono.
Adanya Tritura membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Supersemar 11 Maret 1966 untuk membubarkan PKI dan membersihkan menteri-menteri yang ada sangkut pautnya dengan PKI. Pada 27 Maret 1966 dikeluarkan Kabinet Dwikora yang telah disempurnakan lagi dimana Departemen Olahraga tetap di bawah lingkungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Sarino Mangunpranoto, sedangkan Departemen Olahraga dikepalai deputy menteri Maladi.
Namun kabinet itu tidaklah lama sebab ada Sidang Umum MPRS 20 Juni-5 Juli 1966) yang antara lain menetapkan untuk membentuk Kabinet Ampera selambat-lambatnya 17 Agustus 1966. Itulah saat-saat akhir Departemen Olahraga.
Menurut Alain Bairner (1996) dalam penelitian mengenai hubungan antara nasionalisme olahraga dan politik nasional di Skotlandia, Republik Irlandia, dan Swedia, ia melihat hubungan yang berbeda-beda. Di Skotlandia, olahraga berperan vital dalam pencitraan bangsa di dunia internasional. Di Republik Irlandia, olahraga menjadi komoditas politik rivalitas, yang berdampak bisa tiba-tiba kuat, atau tiba-tiba melemah. Sedangkan di Swedia, peran olahraga dalam konteks nasionalisme sangat terbatas (minor). [Sumber: Alain Bairner, “Sportive Nationalism and Nationalist Politics: A Comparative Analysis of Scotland, the Republic of Ireland, and Sweden,” Journal of Sport and Social Issues; Volume 20, 1996, hh. 19-20.]
Menurut Bairner (1996:19-20):
”Olahraga berkontribusi pada integrasi nasional sebab memberikan kesempatan kepada mereka-mereka yang berbeda kelas sosial, etnis, ras, dan agama untuk mengharumkan bangsa lewat prestasi olahraga. Namun, perbedaan yang terjadi menjadi problem tersendiri bagi negara untuk menyatukan menjadi sebuah kekuatan solid.”
Pada era Presiden Soekarno, Indonesia pertama kali berlaga di Olimpiade Helsinki 1952. Indonesia diwakili tiga atlet dan tidak berhasil mendapatkan medali. Indonesia empat kali mengikuti Olimpiade di Helsinki 1952, Australia 1956, Italia 1960, dan Meksiko 1968, namun tidak mendapatkan medali sama sekali.
”Indonesia diwakili tiga atlet: Sudarmodjo (atletik, lompat tinggi); Thio Ging Hwie (angkat besi kelas ringan); dan Soeharko (renang 200 m gaya dada). Pada nomor lompat tinggi, Sudarmodjo ia bisa ke final dengan lompatan 1,87 m. Di final ia menempati peringkat 20 dari 28 peserta, juara nomor ini adalah W. Davis (AS) dengan lompatan 2,04 m. Lifter Thio Ging Hwie menempati urutan 8 dari 24 peserta, dimana juara nomor ini T. Kono (AS) mengangkat total 262,5 kg. Soeharko tak mencapai semifinal tapi memperbaiki rekor atas namanya dari 2 menit 51,3 detik menjadi 2 menit 50,6 detik.” [Sumber: Departemen Pendidikan Nasional Direktoral Jendral Olahraga, Sejarah Olahraga Indonesia (Jakarta: CV Wendy Putri Lestarindo, 2003, hh.1-14.]
Sebagai salah satu negara poros Asia-Afrika, Indonesia berpartisipasi dalam pesta olahraga bangsa Asia (Asian Games). Di era presiden Soekarno, Indonesia mengikuti lima Asian Games sejak 1951 di India sampai Thailand 1966. Prestasi tertinggi Indonesia diperoleh pada Asian Games 1962 di Jakarta dengan perolehan 9 emas 12 perak 48 perunggu. Indonesia menempati peringkat ketiga, yang merupakan peringkat tertinggi sepanjang sejarah partisipasi di Asian Games.
Editor | : | Eko Widodo |
Sumber | : | www.bolanews.com |
Komentar