Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Kekalahan 0-1 dari Manchester United, Ahad (17/1), terasa begitu menyakitkan bagi Liverpool. Selain laga bertajuk pekan ke-22 Premier League itu digelar di Anfield, hasil tersebut menjadi potret nyata perihal inferioritas The Reds di dua sektor utama.
Ketika mengakhiri partai North-West derby itu, Liverpool mampu mengungguli United hampir di seluruh elemen permainan.
Dimulai dari penguasaan bola, total dan akurasi tembakan, operan, duel udara, hingga penciptaan peluang. Mereka cuma kalah di satu aspek: jumlah gol.
“Rasanya tak ada gunanya kita mendiskusikan hal lain karena pada intinya kami kalah,” begitu ucapan Juergen Klopp saat mengawali sesi wawancara setelah kekalahan dari Red Devils.
Klopp tampak kesal karena hujan peluang yang diciptakan timnya berujung kekecewaan.
Sebaliknya, gol tunggal United melalui Wayne Rooney dicetak lewat satu-satunya tembakan tepat sasaran. Sebuah gambaran jelas soal kelemahan klasik Liverpool yang terletak di sektor depan dan belakang.
[video]https://video.kompas.com/e/4709302970001_ackom_pballball[/video]
Dalam enam musim terakhir, Liverpool seperti belum juga bisa mengatasi dua masalah itu.
Bahkan pada saat berhasil mengemas 101 gol dan duduk di pos runner-up Premier League 2013/14, gawang Liverpool bobol sebanyak 50 kali.
Pada musim kemarin, barisan depan Liverpool hanya bisa mencetak 52 gol. Mereka juga kemasukan 48 gol.
Namun, hal itu belum ada apa-apanya dibandingkan musim ini, di mana Si Merah cuma bisa membuat 25 gol, tapi sudah kebobolan 28 kali.
“Dalam sepertiga lapangan terakhir, Liverpool tak cukup efektif. Mereka tak punya sosok pembunuh di dalam kotak penalti, seorang yang biasa mencetak 20 gol per musimnya,” ujar Paul Ince, mantan gelandang Liverpool dan timnas Inggris, di Sky Sports.
Sepeninggal Luis Suarez ke Barcelona, Anfield memang belum bisa mendapatkan pengganti sepadan.
Padahal, sebelumnya mereka punya tradisi dibela bomber-bomber kelas wahid macam Kevin Keegan, Kenny Dalglish, Ian Rush, Robbie Fowler, Michael Owen, hingga Fernando Torres.
Tanpa striker bernaluri tajam, serangan Liverpool menjadi sia-sia. Upaya memasang Roberto Firmino sebagai false nine memang sempat ampuh ketika melawan Arsenal.
Namun, skema itu tampak kurang efektif di laga lain, termasuk saat melawan United.
“Saya pikir masalah kami hari ini (laga melawan United, red.) bukan di posisi striker utama. Firmino bermain baik. Dia membuktikan dirinya mampu menjadi ujung tombak pada saat dimainkan di posisi itu. Kami harus memaksimalkan segala potensi yang ada,” tutur Klopp di Daily Mail.
Sudah menjadi tugas Klopp untuk membela anak buahnya. Namun, tolok ukur kesuksesan seorang bomber ialah ketika dirinya mampu mencetak gol.
Bukan sebatas bermain baik, membuka ruang, atau melewati hadangan lawan. Firmino terbukti belum bisa berfungsi sebagai striker secara reguler.
Statistik membuktikan ketumpulan Liverpool. Kendati menduduki peringkat kedua dalam aspek melepas tembakan (365) dan menciptakan peluang (295), Liverpool hanya bisa mencetak 25 gol.
Wajar apabila peringkat mereka pun berada di tangga ke-19 dalam urusan konversi peluang menjadi gol (10,3%).
Masalah klasik lain, yang juga terlihat semakin kronis, ialah di lini belakang. Terutama dalam urusan kemasukan gol melalui bola mati.
Dalam aspek kebobolan melalui set piece, Liverpool sudah kemasukan sembilan gol (peringkat ke-19).
Sedangkan dalam aspek kemasukan melalui sepak pojok, jala The Reds sudah tujuh kali koyak (peringkat ke-19).
“Dalam situasi bola mati, tim lawan akan mengirim lima pemain ke dalam kotak penalti. Satu akan berdiri di depan kiper, empat sisanya akan mengejar bola guna membelah konsentrasi pemain belakang," papar Brendan Rodgers, mencoba memberi solusi atas masalah klasik Reds tersebut.
"Usul saya, menjaga man-to-man keempat pemain, sementara satu lagi membayangi pemain di depan kiper. Liverpool terlihat sangat mudah kemasukan gol lewat situasi seperti itu. Harus ada intervensi. Jika man-to-man tak berjalan, segera ganti dengan zonal marking, begitu pula sebaliknya," lanjutnya.
Penulis: Sapto Haryo Rajasa