Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Berhentinya kompetisi dan timnas sangat berpengaruh pada kegiatan pelatih profesional. Kini, para juru racik tersebut justru fokus melatih di sekolah sepak bola (SSB) atau akademi sepak bola.
Kas Hartadi, Aji Santoso, dan Ibnu Grahan terpaksa lebih intensif mengurusi anak didik binaan di akademi yang mereka tangani.
Kegiatan serupa sebenarnya juga dilakukan Fachri Husaini dan Eduard Tjong yang melatih SSB. Akan tetapi, dua pelatih itu bukan melatih siswa di SSB miliki pribadi. Meski begitu, soal dedikasi dalam mentransfer ilmu kepada anak-anak tak usah diragukan lagi.
Nama-nama itu hanyalah segelintir pelatih yang banting setir ke pembinaan usia muda. Masih banyak lagi sosok-sosok lain yang sedang fokus melatih SSB atau akademi.
(Kas Hartadi Football Academy, Solo)
Eks pelatih Sriwijaya (20011-2013), Persikabo (2014), dan Cilegon United (2015), Kas Hartadi, tetap menjaga semangat mengabdi di sepak bola nasional meski sedang morat-marit.
Sejak berhenti sebagai pelatih kepala Cilegon United awal 2015, ia memilih fokus membina akademi miliknya, yaitu Kas Hartadi Football Academy (KHFA) yang bermarkas di Jalan Lemouyang No.12, Solo Baru, Sukoharjo.
“Akademi ini sudah dua tahunan berdiri. Tapi, baru sekarang saya intensif ikut melatih dan memberikan ilmu kepada anak-anak. Sebelumnya, saya jarang di rumah,” katanya.
Juru racik yang membawa Sriwijaya menjuarai Liga Super Indonesia 2011/12 itu pun rajin memantau 15 anak didiknya. Rumah pribadinya dan mes akademi yang berdampingan menjadi salah satu faktor ia selalu bisa berinteraksi dengan para pemain.
“Rata-rata pemain saya berusia 14 tahun. Sebagian berasal dari Palembang,” ucap Kas.
“Sebenarnya, saya tidak mencari pemain, tapi maksimal mungkin hanya 30 pemain yang bisa ditampung. Akademi ini proyek sosial. Saya tidak terima sepeser uang pun. Setiap bulan mereka hanya bayar 1,5 juta rupiah dan langsung disalurkan untuk makan, sekolah, bayar pelatih, dan akomodasi lain,” tuturnya.
Ia pun terjun langsung menyusun kurikulum dan materi latihan.
“Saya dulu pernah di Diklat Ragunan. Jadi, sistemnya tak jauh berbeda. Intinya, pemain berusia 14 tahun harus mendapat pembinaan fisik yang utama sehingga saat berusia 19 tahun mereka bisa masuk tim senior,” ujar Kas. (Iwan Setiawan)
(Aji Santoso International Football Academy, Malang)
Setelah SEA Games Singapura selesai pada Juni 2015, pelatih Aji Santoso menghabiskan waktunya di ASIFA (Aji Santoso International Football Academy) miliknya. Setiap sore, ia mendampingi ratusan siswa berlatih mulai usia 12 sampai 17 tahun.
Meski di setiap kelompok usia ada pelatih yang menangani, Aji tetap setia mengamati jalannya latihan. Tak jarang ia memberikan instruksi tambahan dari pinggir lapangan.
“Sekarang, kegiatan saya lebih banyak di sini. Kalau tidak ada acara, pasti pada sore hari saya di lapangan ASIFA. Saya hafal nama setiap pemain di sini,” kata Aji.
Sang pelatih mengaku tidak ingin terlalu larut dalam konflik sepak bola Tanah Air saat ini. Justru, ia kini fokus memperbaiki sistem yang ada di akademinya.
“Dua tahun akademi ini sudah berjalan, saya selalu ingin ada sistem yang lebih baik. Mulai dari pembentukan perilaku, postur pemain, pendidikan, dan semuanya,” ucap Aji.
Aji selalu berpikir untuk menambah fasilitas di akademinya agar tercipta output yang maksimal.
Terbaru, di ASIFA sudah memiliki tempat fitnes, sauna, dan terapi air atau jacuzzy.
Pada November, ASIFA akan memiliki tiga lapangan tambahan dan satu gedung asrama yang lokasinya juga di Malang, tepatnya di kompleks militer Arhanud Karangploso. (Iwan Setiawan)
(SSB Surabaya FC, Surabaya)
Ibnu Grahan, pelatih Persebaya United alias Bonek FC, setiap hari usai pulang kerja dirinya langsung ke lapangan Mulyorejo, Surabaya, untuk memimpin latihan SSB Surabaya FC miliknya.
Ibnu mengakui kesibukannya mengurusi SSB tersebut nyaris tak pernah berhenti di saat terjadi kekosongan kompetisi seperti sekarang. Memulai latihan pada pukul 15.00 WIB, Ibnu baru beristirahat dua jam setengah kemudian.
Saat ini ada sekitar 100 siswa SSB yang ditangani oleh Ibnu. Untuk mempermudah kinerjanya, ia dibantu empat pelatih lain, yakni Bejo Sugiantoro (eks libero timnas senior dan jebolan timnas Primavera), M. Toha (pelatih kiper), Bahtiar (pelatih), dan Marsono (pelatih).
Keempat pelatih yang membantu Ibnu ini menangani kelompok usia yang berbeda-beda. Hanya Toha yang menangani semua kelompok umur karena jumlah kiper sedikit dibanding pemain non-kiper.
“Kegiatan ini sebetulnya saya lakukan ketika klub Bonek FC aktif, tapi tidak seintens kalau saat tidak ada kompetisi. Kalau tidak di lapangan, saya bisa stres karena saya hidup dan besar dari sepak bola,” ucapnya. (Fahrizal Arnas)
(Solo Football, Solo)
Pelatih Eduard Tjong yang sebelumnya mengarsiteki Persiba Balikpapan di Piala Presiden sudah kembali melatih Solo Football Academy (SFA).
“Ya mau bagaimana lagi. Begitu tim tersingkir selesai sudah tugasnya. Piala Presiden memang baru saja berakhir. Tapi, saya dan pemain sudah diputus kontrak sejak September. Kini, saya fokus menangani akademi sepak bola,” kata Eduard.
“Saya tetap serius dan fokus melatih di akademi. Jadi ini bukan karena tidak ada pekerjaan lagi atau apa. Hanya, pemilik akademi mengizinkan saya pergi bila ada klub profesional yang merekrut saya,” ujarnya.
Bila pergi meninggalkan akademi, Edu tetap membuat program untuk anak didiknya. (Gonang Susatyo)
(SSB Pelangi Mandau, Bontang)
Selepas tak lagi menangani timnas U-16 dan U-19 lantaran batal berlaga di Piala AFF 2015, Fachri Husaini langsung kembali ke Bontang untuk berkantor di PT Pupuk Kaltim dan melatih SSB Pelangi Mandau binaan kantornya.
Menurutnya, SSB Pelangi Mandau adalah transformasi dari Diklat Mandau yang sudah sejak lama berdiri. Di SSB itu, Fachri berposisi sebagai direktur teknik dan pelatih kepala.
Namun, ia sempat merasa kecewa lantaran kisruh sepak bola nasional yang kini melanda sedikit berpengaruh pada iklim latihan di SSB-nya.
“Dulu saat Evan Dimas dkk. (U-19) juara, latihan di sini sangat meriah. Sekarang saat tak ada timnas dan kompetisi, para orang tua seolah malas mengantarkan anak-anaknya untuk berlatih,” ucap eks pemain dan pelatih Pupuk Kaltim (sekarang Bontang FC) itu.
Akan tetapi, ia tetap optimistis gairah anak-anak untuk berlatih di SSB tetap akan tinggi.
“Hal itu terlihat pada kelompok usia 8 kami. Di sana ternyata banyak peminatnya. Tapi berbeda di kelompok usia 10, 12, 14, dan 16 tahun,” tuturnya. (Kukuh Wahyudi)