“Mulai dari nol lagi ya.” Demikian kalimat terkenal dari iklan yang diluncurkan Pertamina menjelang Idul Fitri beberapa tahun silam. Mungkinkah kondisi ini yang akan terjadi pada timnas Indonesia?
Penulis: Budi Kresnadi/Ovan Setiawan/Suci Rahayu/ Gonang Susatyo/Andrew Sihombing
Optimisme pencinta sepak bola nasional kembali bangkit selepas Piala AFF 2016. Tak cuma melaju ke final, sejumlah anak muda di skuat asuhan Alfred Riedl memperlihatkan kesiapan menjadi andalan Tim Merah Putih di masa depan.
Namun, Riedl akhirnya tak “diberi izin” meneruskan kinerja apiknya. PSSI berniat menunjuk pelatih asing baru guna menukangi timnas senior sekaligus sebagai komandan Indonesia U-22.
Sejauh ini, kandidat penghuni posisi tersebut ialah Luis Fernandez dan Luis Milla dengan nama terakhir sebagai calon paling kuat.
Munculnya kedua nama ini memang sempat membuat heboh. Fernandez maupun Milla punya nama besar di dunia bal-balan, baik sebagai pemain maupun pelatih.
Fernandez merupakan pilar timnas Prancis bersama Michel Platini, Alain Giresse, dan Jean Tigana kala memenangi Piala Eropa 1984. Ia juga terpilih sebagai Pesepak Bola Terbaik Prancis 1985.
Sebagai pelatih, Fernandez mempersembahkan sejumlah gelar bagi PSG dan membawa Bilbao finis di peringkat kedua La Liga 1997/98 sebagai tim dengan jumlah kekalahan paling sedikit.
Karier Milla lebih mentereng dengan raihan gelar juara bersama Barcelona, Real Madrid, serta Valencia. Kala ganti haluan sebagai pelatih, Milla membawa timnas U-21 Spanyol menjadi yang terbaik di Eropa pada 2011.
“Dari profil pelatih yang punya nama besar dan pengalaman di Eropa, saya rasa ada harapan yang sangat besar untuk timnas. Bukan hanya menjadi bagus, tapi juga berprestasi,” kata bek senior Ricardo Salampessy.
Keleluasaan
Risiko bukannya tak ada. Salah satunya hambatan komunikasi akibat perbedaan bahasa. Hanya, hal ini diyakini tak terlalu mengganggu.
“Perbedaan bahasa mungkin membuat pemain sulit mencerna kemauan pelatih. Tapi, sebenarnya bahasa sepak bola itu universal dan mudah dimengerti,” ujar Ricardo.
Berdasarkan pengalamannya sendiri, eks pemain timnas yang kini menukangi Arema FC, Aji Santoso, berpendapat serupa. “Saat dulu timnas dilatih Anatoli Polosin (1987-91) juga sempat ada kendala bahasa. Tapi, ketika itu ada ahli bahasa yang menerjemahkan Bahasa Soviet ke Bahasa Indonesia hingga pemain bisa memahami maksud pelatih,” tuturnya.
Faktor yang lebih besar tentulah pengenalan sang pelatih anyar terhadap kultur pemain dan sepak bola Indonesia serta Asia Tenggara. Fernandez maupun Milla sama sekali tak punya pengalaman dalam hal itu.
“Fernandez maupun Milla tidak paham dengan kondisi sepak bola kita. Mereka pasti butuh waktu untuk beradaptasi,” ucap bek kanan Tim Garuda di Piala AFF 2016, Beny Wahyudi.
Pemahaman terhadap kultur sepak bola tak bisa dipandang enteng. Menurut Aji, hal inilah yang dulu membuat Polosin bisa sukses mempersembahkan medali emas sepak bola SEA Games 1991.
“Polosin juga awalnya tidak paham dengan kultur sepak bola di sini karena ia baru pertama kali datang ke Indonesia. Tapi, ia kemudian berkeliling ke seluruh Indonesia melihat pemain di berbagai kompetisi atau kejuaraan. Dari situ akhirnya ia paham karakter permainan yang pas bagi Indonesia dan memilih pemain berdasarkan hal tersebut,” katanya.
Rekan Aji di tim saat itu, Robby Darwis, mengutarakan hal yang sama.
"Butuh waktu lama bagi Polosin untuk beradaptasi karena dia sama sekali tidak kenal dengan sepak bola Indonesia. Sebaliknya, kami juga butuh waktu beradaptasi dengan gaya latihannya yang sangat berat," ujar bek legendaris Persib tersebut.
Padahal, menurut Robby, pelatih lokal yang sudah kenal luar-dalam sepak bola Indonesia saja masih butuh waktu panjang menyiapkan tim. Hal ini yang dialaminya saat dipoles Bertje Matulapelwa hingga bisa meraih medali emas sepak bola di SEA Games 1987.
"Om Bertje mempersiapkan tim sejak 1985 sebelum bisa membentuk tim yang benar-benar kuat," kata Robby.
Keleluasaan waktu itulah yang belum tentu dimiliki oleh suksesor Riedl.
Selepas prosesi pemakaman kiper Arema, Achmad Kurniawan, pekan lalu, Manajer Madura United, Haruna Soemitro, menyebut bahwa PSSI sejatinya sudah memiliki daftar pemain untuk pelatnas jangka panjang.
Hanya, bukan tak mungkin Fernandez atau Milla tak puas dengan materi yang didapatnya dan lantas mencari pemain baru.
Bila ini yang terjadi, sang pelatih tentu butuh waktu untuk membentuk tim sesuai keinginannya. “Bisa 3-6 bulan, memang butuh waktu yang agak panjang,” ujar Aji.
Ingat, periode itu baru untuk membentuk tim, belum mematangkannya. Masalahnya, selain semifinal Asian Games 2018 dan medali emas SEA Games 2019, sang pelatih juga diberi target raihan terbaik di pesta olahraga Asia Tenggara tahun ini.
Ini berarti timnas harus berkejaran dengan waktu karena SEA Games 2017 akan berlangsung enam bulan lagi. Artinya, semakin lama PSSI menunjuk pelatih anyar, semakin sempit pula waktu yang dimiliki untuk menyiapkan tim. Tik…tok…tik…tok….
[video]http://video.kompas.com/e/5285849892001_v1_pjuara[/video]
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.734 |
Komentar