Pemain tersebut lebih bernilai di mata pelatih ketimbang pemain berstatus senior yang kurang gereget saat berlatih atau bertanding.
“Entah dia itu pemain minim pengalaman, muda atau tua, bila bagus saat berlatih biasanya pelatih asing pasti memberi kepercayaan. Pelatih lokal kurang berani dan kurang percaya dengan pemain-pemain yang baru muncul,” kata Maman.
Maman tak asal ucap karena statistik membuktikan Riedl sering menaruh kepercayaan besar kepada pemain minim pengalaman dalam tiga kesempatan menukangi Indonesia di Piala AFF (2010, 2014, 2016).
Pada Piala AFF 2010, setidaknya Riedl mengorbitkan lima pemain yang jumlah penampilan bareng timnas masih di bawah dua digit, seperti Mohammad Nasuha (6), Okto Maniani (5), Ahmad Bustomi (5), Yongki Aribowo (4), dan Zulkifl i Syukur (3).
Kebiasaan ini berlanjut di Piala AFF 2014 dan 2016, di mana pria berkebangsaan Austria itu memanggil Ramdani Lestaluhu, Rizki Pora, Manahati Lestusen, Evan Dimas (2014), Abduh Lestaluhu, Yanto Basna, Lerby Eliandry, Bayu Pradana, dan Hansamu Yama (2016).
Jika ditarik ke belakang, pemain era 2000-an itu tak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan pemain timnas pada 1980-an dan 1990-an.
Robby Darwis, misalnya, yang sempat diasuh Bertje Matulapelwa dan Anatoli Polosin, mengatakan bahasa dan kultur menjadi faktor penting.
“Bahasa dan kultur menjadi faktor penting. Bayangkan ketika itu ada dua liga, yaitu Galatama dan Perserikatan. Keduanya harus disatukan menjadi satu timnas. Pelatih lokal tak butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan kondisi itu. Kalau pelatih asing, kami sama-sama beradaptasi. Dia beradaptasi dengan kultur kita, sedangkan kami kudu beradaptasi dengan gaya dan kultur dia,” ujar Robby.
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar