Bekas gelandang Juventus, Andrea Pirlo, pernah memuji Massimiliano Allegri. Menurut Pirlo, pelatih pengganti Antonio Conte itu lebih rileks dari pendahulunya. Allegri jadi membawa nuansa lebih kalem dan tenang ke dalam tim.
Penulis: Dwi Widijatmiko
Selepas kekalahan Juventus dari Milan di Supercoppa Italiana 2016, Jumat (23/12) di Qatar, katakata Pirlo itu kembali muncul ke permukaan. Namun, kali ini dalam konteks yang negatif.
Saat Milan merayakan penganugerahan trofi Supercoppa, Allegri kelihatan berargumen dengan Direktur Beppe Marotta dan Fabio Paratici.
Dia tampak menunjuk-nunjuk ke arah pemain Juve, yang menerima pengalungan medali perak.
Media Italia mengklaim Allegri berkata: “Saya akan memberi mereka semua tendangan yang keras”. Allegri menyalahkan pemain.
“Kami seharusnya lebih baik dalam 120 menit. Saya masih marah terhadap apa yang terjadi. Ketika bermain di final, yang penting adalah apa yang Anda lakukan di atas lapangan, bagaimana Anda membaca permainan,” katanya dalam jumpa pers.
Para pemain Juventus boleh jadi bersalah karena dua kali membuang keunggulan di waktu normal dan adu penalti. Akan tetapi, kejadian di Supercoppa juga mengeksploitasi dua handicap yang membayangi Allegri.
Seperti kata Pirlo, Allegri lebih rileks daripada Conte. Namun, karakter itu barangkali sekarang membuat Juventus lebih lembek daripada era Conte.
Baca Juga:
- 10 Pemain Terbaik di Dunia pada 2016
- Juergen Klopp dan Riwayat Transfer Sepi pada Bursa Januari
- Icardi Kejar Rekor Dua Legenda Inter Milan
Kekalahan di Supercoppa adalah kejadian kesekiankalinya Juventus musim ini gagal menghabisi pertandingan di mana mereka sudah unggul.
Juga ulangan kejadian di mana Si Nyonya tidak mampu menemukan solusi saat menemui kesulitan di tengah laga. Di Serie A, Juve kalah 1-2 dari Inter dengan sempat memimpin 1-0 lebih dulu.
Lantas kekalahan 0-1 dari Milan dan 0-3 dari Genoa hadir dengan Juventus gagal merespons ketika lawan unggul lebih dulu.
Sebut juga hasil imbang 0-0 kontra Sevilla dan 1-1 versus Lyon di J Stadium dalam duel fase grup Liga Champions 2016/17.
Pada era Conte, kejadian seperti itu jarang terjadi karena tim akan diamuk sang pelatih habis-habisan jika mengendurkan permainan atau gagal menaikkan performa.
Bagaimanapun, Juventus adalah kumpulan pemain juara. Yang mereka butuhkan hanya sedikit lecutan jika mulai ada tanda-tanda “lupa diri”. Allegri mungkin terlalu “baik hati”.
Dia tidak se-eksplosif Conte sehingga dalam hal memacu tim, Allegri tidak berada di level yang sama dengan sang pendahulu.
Misteri 4-3-1-2
Handicap lain adalah taktik. Sudah tiga musim di Juventus, tapi Allegri tak kunjung bisa mengaplikasikan pola favoritnya, 4-3-1-2.
Penyebabnya adalah Juventus belum juga menemukan sosok yang bisa menjalankan peran trequartista.
Bukannya Allegri dan Juventus tidak berusaha. Hernanes dan Miralem Pjanic didatangkan dalam dua musim terakhir.
Tapi, mentoknya Pjanic sebagai pemain tiga perempat di partai Supercoppa mengonfirmasi bahwa sistem 4-3-1-2 masih sebuah misteri bagi Juve.
La Vecchia Signora memang tidak sering mengalami kemunduran.
Di tangan Allegri, cerita mereka masih didominasi kemenangan demi kemenangan. Tapi, seperti yang terjadi di Supercoppa, gawat jika setback justru terjadi pada pertandingan yang menentukan.
“Kekalahan di Supercoppa tidak perlu menjadi drama. Tapi, kami harus belajar karena enam bulan ke depan harus menjadi perjalanan menuju kesuksesan,” ujar bek yang sempat membawa Juventus unggul di Supercoppa, Giorgio Chiellini.
“Kami tidak boleh kehilangan rasa lapar untuk berlatih dan menjadi lebih baik setiap hari. Itulah rahasia kesuksesan kami dalam beberapa tahun terakhir”.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar