Tak enak datang telat, lari ajang swafoto, dan kecepatan tak konsisten. Hal-hal itu adalah sebagian hal yang saya pelajari sebagai pelari pemula.
Saya masih sedikit tak percaya bahwa pada akhir pekan kemarin saya mengikuti ajang Jakarta Marathon 2016, salah satu event lari paling bergengsi di Tanah Air. Seperti yang saya ceritakan di sini, dunia lari baru bagi saya.
Enam bulan yang lalu tak terpikirkan bagi saya untuk menjadi aktif seperti ini dengan banyaknya tuntutan pekerjaan.
Saya baru mencoba berlari beberapa bulan lalu setelah bergabung dengan Nike+ Run Club (NRC), komunitas lari yang menggelar coaching sessions bersama instruktur-instruktur berpengalaman.
Jika tak ada rintangan di kantor, setiap Kamis saya bergabung dengan NRC di FX Senayan, Jakarta.
Mereka sangat membantu saya tune in ke dunia baru ini.
Secara kebetulan, saya lalu berkesempatan meliput Bali Marathon 2016 dan berpartisipasi sebagai pelari 10k di Heritage Run 2016 serta JakMar kemarin.
Ada beberapa hal menarik yang saya, sebagai pelari pemula, perhatikan dari ajang-ajang berikut.
1. Lebih cepat datang, lebih baik
Pada pagelaran Heritage Run, saya datang ke lokasi pukul 03.30 WIB. Saya melihat panitia masih briefing dan hampir parkir di lokasi pengisi acara. Namun, saya senang seperti ini.
Seperti setiap hendak siaran di televisi, saya ingin memantau lingkungan sekitar tempat saya bekerja. Hal ini membantu saya lebih nyaman dalam beraktivitas.
Di Jakarta Marathon saya telat sampai ke lokasi. Start saya kurang ideal, badan kurang panas, dan pengondisian mental saya kurang fokus.
2. Selfie, wefie, selfie, dan wefie lagi.
Bukan rahasia kalau pelari suka dengan swafoto. Tak terhitung berapa banyak selfie dan wefie yang mereka lancarkan sebelum dan sesudah berlari. Banyak dari mereka yang telat start karena ingin berpose manis dulu depan landmark setempat.
Tak sedikit pula yang berhenti di tengah rute untuk mengabadikan momen mereka. Selain mengejar catatan waktu, para pelari tampak juga terobses dengan like, retweet, dan hati yang mereka bisa dapatkan lewat situs jejaring sosial.
2. Cari perlindungan dari kondisi alam
Saya melihat banyak orang memakai beragam cara untuk menyimpan smartphone/gadget mereka. Ada yang memakai strap di lengan, ada yang di pinggang, dan ada yang memakai vest di dada.
Bahkan, saya melihat salah satu memakai plastik ziplock untuk menyimpan telepon.
Awalnya saya mengira ia berlebihan. Namun, anggapan itu langsung sirna setelah lari memasuki kilometer kedua. Hujan deras mendera, membasahi sekujur badan dan peralatan elektronik yang menempel.
Para pelari memang sangat terekspos ke kondisi alam. Untung saja smartphone saya tahan banting dan tidak rusak walau cukup basah.
3. Old habits die hard
Saya membawa satu kebiasaan dari hobi bermain futsal dan sepak bola ke olahraga lari: pergerakan stop start.
Hampir semua pelari yang terlihat benar pelari bergerak secara konstan sepanjang rute, mempertahankan kecepatan untuk beberapa ratus meter sebelum berjalan pelan (interval). Mungkin itu cara berlari terbaik.
Akan tetapi, saya tak bisa melakukan itu. Pola lari saya selalu cepat (cenderung sprint) laluberjalan selama beberapa ratus meter. Tampaknya, saya harus lebih memerhatikan ajaran di NRC ha... ha... ha...
4. Statistik adalah segalanya
Semua yang pernah membaca tulisan saya pasti tahu betapa besar saya suka statistik. Angka-angka menghapus anggapan mengambang seperti: “permainan dia cukup bagus”, “ia kurang bagus di duel udara”, atau “pergerakannya tidak maksimal”.
Ambil contoh deh. Di Premier League, berkat statistik, kita tahu bahwa Phil Jagielka (Everton) adalah bek yang lebih bagus di udara ketimbang Laurent Koscielny (Arsenal).
Hingga akhir pekan lalu, Jagielka memenangi 35 duel udara sementara Koscielny 30. Perdebatan yang mengambang langsung bisa diselesaikan saat itu juga.
Pun, hal sama berlangsung di lari. Begitu saya mengetahui bahwa statistik lari bisa tercatat dengan detail, saya terobsesi. Split time, average pace, kalori yang terbakar, dan data-data lain membuat lari menjadi lebih hidup.
5. Respek yang melonjak terhadap para pelari Full Marathon
Saya tak pernah tahu betapa jauh 42.195 km itu sesungguhnya sebelum saya berpartisipasi di Jakarta Marathon.
Para peserta FM memulai lari mereka lebih pagi dari saya. Setelah menyelesaikan 10k dalam 1 jam 24 menit, saya sempat berbincang cukup lama di area lomba bersama teman-teman.
Saya lalu pulang, mandi, sarapan, main bersama anak, dan tidur sejenak, sebelum melanjutkan aktivitas keluar rumah.
Eh, di perjalanan keluar, saya melihat masih ada saja pelari Full Marathon yang tengah berjuang menempuh lintasan. Respek saya melejit melihat mereka.
Well, kira-kira begitulah observasi singkat saya sebagai pelari newbie. See you!
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | - |
Komentar