"Saya sangat kecewa. Bagaimana saya bisa bermain bulu tangkis jika tidak ada raket? Tidak mudah bagi saya untuk membeli raket-raket itu?" ucap Lee.
Lee masih beruntung karena pelatihnya memberikan dua raket miliknya.
"Hanya Tuhan yang tahu bagaimana perasaan saya ketika itu. Saya merasa bangkit dari kematian karena bisa melanjutkan ambisi saya dengan bantuan pelatih," ucapnya.
Lee, yang mulai menekuni bulu tangkis ketika berusia 10 tahun, harus menempuh perjalanan selama berjam-jam dengan bus untuk bisa berlatih.
Tiga kali dalam seminggu dia menempuh perjalanan dari rumahnya di Bukit Mertajam menuju akademi bulu tangkis di Jelutong.
Perjuangannya membuahkan hasil. Dia akhirnya meninggalkan keluarganya di Penang pada usia 17 tahun untuk bergabung dengan tim nasioanal.
Perjalanannya tak lantas jadi mudah. Tak pernah jauh dari keluarga dan merasa terisolasi di pelatnas karena menjadi pendatang baru membuatnya menangis setiap hari.
"Setiap hari saya menelepon ibu saya dan saya menceritakan situasinya. Pernah satu kali saya bilang ke ibu kalau saya ingin pulang. Saya tidak ingin menjadi pemain bulu tangkis lagi," ujar Lee melanjutkan kisahnya.
Baca Juga:
- Terima Kartu Hijau, Penyerang Italia Cetak Sejarah
- Maradona: Totti Bisa Bermain Hingga Usia 50 Tahun
- Ronaldo Lebih Suka ke Kelab Malam dan Bertanding Tanpa Latihan
"Namun, ibu saya berkata bahwa itu adalah kesempatan saya untuk mewakili negara dan tidak semua orang punya kesempatan ini. Jadi, saya tidak boleh menyia-nyiakannya," kata Lee.
Editor | : | Pipit Puspita Rini |
Sumber | : | Themalaymailonline.com |
Komentar